Teman Lama

2 0 0
                                    

Tidak tahu jam berapa Hesley tertidur. Mungkin pagi baru bisa terlelap, karena ini sudah jam sepuluh pagi dirinya masih meringkuk di bawah selimut tebal. Obat penenang untuk segala masalah adalah tidur. Mungkin hanya segelintir saja termasuk Hesley, ia hanya tidak ingin hal-hal yang membuatnya sedih merasuk terlalu dalam hingga merusak kenyamanan. Lagi pula memikirkan tentang semalam juga hal bodoh. Bukankah dirinya tidak memiliki ikatan apa pun dengan Shane? Lalu, untuk apa dirinya menangisi. Itu hanya membuang waktu saja.

Lima belas menit Hesley sudah bangun, tapi enggan untuk bangkit dari kasur empuk dan nyaman itu. Ia sendiri pun tidak tahu akan melakukan apa di tempat ini. Bersih-bersih? Itu sangat tidak mungkin. Dirinya berada di tempat ini pria itu yang membawa, biar pria itu saja yang membersihkan rumahnya.

Rasa ingin buang air kecil tak lagi bisa ditahan sehingga Hesley terpaksa harus bangun dan segera pergi ke toilet.
Selesai membuang haja, barulah ia merasa lapar. Cacing dalam perut pun terus demo. Malas, ngantuk dan sempoyongan ia paksa mencari sesuatau yang ada di dapur untuk mengisi perutnya. Langkah kaki memelan saat menangkap hidangan yang ada di atas meja makan. Lengkap dengan jus buah yang biasa Hesley konsumsi setiap pagi. Bukan jus atau hidangan yang menarik perhatian, melainkan secarik kertas dengan sebaris kata yang mampu membuat siapa pun mengembangkan bibir.

Kamarmu terkunci, jadi aku letakkan di sini

Hesley hanya tersenyum miring. Tebing yang sempat roboh, kini kembali ia bangun lebih kokoh agar sulit untuk di dobrak masuk. Hesley nikmati sarapan yang telah Shane siapkan di meja, sangat bodoh jika ia susah payah membuat makanan lain.

Satu pesan masuk ke ponsel Hesley. Ia raih benda pipih itu lalu membuka satu pesan nomor tanpa nama. Kedua matanya membulat membaca pesan. Mendongak dan menyapukan pandangan ke seluruh sudut ruangan.

“Kau sangat cantik jika tersenyum,”

“Bekerjalah dengan fokus! Jangan memantau diriku, sialan!” teriak Hesley memaki. Ia sendiri tidak tahu dimana letak kamera tersembunyi itu. Selang beberapa detik, satu pesan masuk lagi. Nomor sama tanpa nama.

Aku mrindukanmu,”

Geram dengan pesan singkat yang mengandung bualan kosong pria itu, lantas Hesley bangun dari kursi. Menghampiri titik pusat listrik rumah. Ya, Hesley mematikan aliran listrik. Tidak masalah ruangan menjadi panas, lagi pula memang tempat ini sudah membuatnya gerah sejak datang.

“Sial! Dia mematikan listrik. Apa-apaan dia ini. Apa dia tidak tahu jika aku ini benar-benar merindukannya,” gerutu Shane pelan begitu layar yang sedang ia tatapi tiba-tiba gelap.

Semua orang yang berada di meja besar dan panjang mengulum senyum. Mereka tidak mendengar apapun, hanya ucapan pelan bos besar yang masih bisa ditangkap semua orang. Ada juga yang mencubit pahanya sendiri agar tawa tidak meledak, ada yang membekap mulutnya kuat sambil menunduk dan hanya punggung yang bergejolak hebat. Kedatangan Hesley ke kantor kemarin telah diketahui satu perusahaan. Bahkan, sampai hari ini semua masih heboh dengan sosok wanita remaja dalam bingkai foto yang selalu berada di meja sang bos. Bisa disimpulkan, kehadirannya Hesley mematahkan banyak hati yang mencoba masuk.

Masih berada di ruang rapat. Shane kembali mengirimkan pesan kepada Hesley. Tidak hanya satu, puluhan pesan telah ia kirimkan dengan kalimat sama. Selang beberapa detik, hanya emoji jari tengah yang Shane dapat dari balasan Hesley. Tidak hanya satu, tapi lebih banyak. Bukannya marah, Shane malah tertawa terbahak.

Tidak ada yang berani menegur, mereka memahami situasi bos besarnya. Semua sepakat mengakhiri rapat lebih cepat.

Tiga jarinya mengetuk meja sambil berpikir bagaimana membuat harinya tidak membosankan. Hampir satu jam ia hanya duduk di balkon. Selama itu juga hanya meja, cangkir dan panas terik matahari yang memapar jajaran gedung.

“huh! Aku seperti orang bodoh,” keluh Hesley sambil membuang nafas kasar.

Meletakkan cangkir lalu menghampiri tempat pakaiannya disimpan. Satu persatu ia sibak, berharap apa yang dibutuhkan ada. Mengulas senyum pada satu potongan kain berwarna hitam. Ia tarik lalu memasukkan ke dalam tas. Sejenak berpikir kembali, pasport miliknya ada pada Shane dan jika tertangkap polisi itu yang akan membuatnya kesulitan. Menjatuhkan bahu lemas, hanya beberapa saat saja otaknya berfungsi. Bukankah sangat bagus jika dirinya ditangkap polisi? Maka dengan begitu dirinya akan di tendang ke negaranya. Menjauh dari pria sialan itu.

Tepi pantai berpasir putih yang Hesley datangi telah penuh orang berjemur. Meski agak jauh dari tempat parkir, tapi masih cukup bagus jika memerlukan minuman yang terletak tidak jauh dari tempatnya. Ia mulai menggelar kain di atas pasir, mengoleskan juga krim ke bagian kulit yang terbuka lalu memakai kaca mata. Berteman dengan gulungan ombak yang datang berganti lebih baik, dari pada berdiam diri di penthouse.

“Hei! Kau Hesley bukan?” tanya seseorang yang baru saja datang pun menggelar alas di sampingnya.

Lamunan Hesley buyar seketika oleh sapaan seseorang. Mengalihkan tatapan pada sosok yang masih berdiri agak menunduk menatap wajahnya. Ia buka kaca hitam untuk memastikan.

“Sialan! Flogy!” teriaknya keras lalu bangun dari posisinya. Ia rangkul erat leher pria yang disebutkan nama itu.
“Sialan! Kau semakin tampan saja,” puji Hesley setelah menarik kepala menatap Flogy.

“Dimana Leon? Sungguh, aku ingin memukul pria itu menggunakan kotak surat..” 

Pelukkan tangan Hesley melemah dan terlepas. Mendengar nama pria itu wajahnya berubah lalu kembali duduk.

“Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?” tanya Hesley. Mendongak menatap pria itu.

Flogy mengangkat kedua alisnya. Ikut duduk di samping Hesley dan siap mendengarkan.

“Katakan!”

“Jangan katakan kepadanya jika aku saat ini berada disini,” ucap Hesley menunduk menyembunyikan wajah.
“Bisa kau jelaskan poin pentingnya?” pinta Flogy karena ia tidak faham dengan permintaan Hesley.

“Dia kembali dalam hidupku...” ucapannya memelan di ujung kalimat.

“Dia? Shane?” potong Flogy menebak cepat dan diangguki Hesley pelan.

“Shit!” umpatnya lalu membuang nafas kasar sambil menyugar surai ke belakang.

“Dia datang ke desa untuk mencari Lavender, milikku pun telah ku berikan kepadanya berharap dia segera pergi. Tapi dia menginginkan aku kembali kepadanya,” jelas Hesley.

“Keberadaanmu disini juga paksaan dari dia?”

Menghela nafas, “Sebelumnya aku sudah menghindar ke Italia selama tiga minggu dan memastikan dia pergi setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi aku salah,”

“Aku bisa membawamu pulang. Akan ku urus kembali paspormu,” sahut Flogy cepat.

“Tidak. Ini sudah saatnya harus diselesaikan,” tolak Hesley.

“Dia hanya memanfaatkanmu Sley. Ayo, aku antar kau pulang,”

Meraih telapak tangan besar Flogy, “Kau ada disini kan? Jadi, aku aman.”

“Sley,” mohon Flogy agar mau mendengarkan.

“Jika aku tidak memiliki jalan keluar, aku akan lari kepadamu,” Hesley meyakinkan.

“Berikan ponselmu!” pinta Flogy sambil mengulurkan telapak tangan.

“Jika kau tidak menukar nomor, aku hafal di luar kepala. Hei, sangat tidak mungkin aku tidak mengingat nomor orang terdekatku,” tebak Hesley.
Flogy menarik tangannya. “Bagus. Ada untungnya kau cerdas.”

Flogy menyapukan pandangan ke sekitar, tapi bisa Hesley tebak apa yang sedang pria itu cari.

“Aku datang sendiri. Dua penjaga yang membuntutiku telah aku berikan obat tidur, mungkin besok bari bangun,” ucap Hesley. Detik selanjutnya kedua orang itu tertawa terbahak.

The Flower GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang