Kain bermotif bunga warna ungu mengikat di atas kepala. Dress panjang berwana ungu polos melekat sempurna membungkus tubuh ramping Hesley. Sambil menenteng keranjang anyaman yang diselipkan pada lengan, Hesley menyusuri setiap gang kosong yang membujur lurus teratur. Satu tangan bebas memetik aneka macam bunga dengan berbagai jenis.
Langkah kakinya berhenti saat melihat Dandelion. Melengkungkan senyum lalu berjongkok untuk memetik satu. Ia angkat setinggi wajahnya lalu meniup cukup kuat hingga bunga itu gugur dan berterbangan ke udara. Senyum lebar mengiringi binar bahagianya. Setahun menjalani kehidupan di negara asing dan memutuskan tinggal di sebuah desa semakin membuat dirinya lebih damai. Menjauhi ramainya kota besar terkadang akan merubah sisi pemikiran juga keterbiasaan buruk.
“Aku semakin jatuh cinta pada tempat ini. Suasana hatiku selalu membaik dengan semua aktifitas yang cukup melelahkan ini. Tapi, aku bahagia.” Hesley berbicara pada bunga beberapa bunga yang ada di depannya.
Sambil menyangga dagu menatap lurus, melayangkan angannya tapi penuh kesadaran. “Ini hanya sebuah desa. Jauh dari pusat belanja, kanan kiri hanya ladang luas, tapi aku merasa nyaman.” Monolog Hesley.
Dua puluh menit Hesley telah berada di rumah. Sejak kembalinya dari ladang, ia terus menyibukkan diri di lantai dua. Satu ruangan besar yang menyatu dengan balkon, ia gunakan untuk kerja. Membuat karya dari bunga dan tumbuhan liar yang dikeringkan. Banyaknya pesanan via online, membuat Hesley harus meninggalkan toko sementara waktu. Tidak tutup, Reyna sahabatnya yang menjaga serta mengurus toko selama ia sibuk mengemas pesanan bunga kering.
Suara ketukan pintu berulang kali memgalihkan perhatian Heasley dari kesibukkannya.
“Siapa yang mengetuk pintu seperti orang gila itu,” gumamnya pelan.
Lantas, Hesley bangun dari duduk melantai. Terpaksa turun untuk melihat siapa yang datang ke rumahnya. Sebelum membuka pintu, ia memgintip dari balik jendela. Sekilas melotot saat tahu siapa yang datang. Menutup kembali kelambu putih, tapi tubuhnya masih terkesiap tegang. Menyadarkan kewarasaan sambil menarik nafas dalam berulang kali. Setelah merasa cukup tenang, ia raih knop. Memutar dengan raut wajah datar sedatar tembok.
“Ada urusan apa, anda?” tanpa basa basi.
Bersandar pada bingkai pintu sambil melipat tangan di depan dada. Tatapannya lurus pada seseorang yang ada di depannya tanpa ekspresi apapun.
“Mari bernegoisasi dan kita sama-sama untung,” tawarnya.
“Anda tuli atau lupa?”
“Sangat ingat. Aku menawarkan kerja sama, nona...”
“Tidak. Terima kasih. Pagar tidak dikunci, silahkan pulang!” potong Hesley cepat lalu menunjuk ke arah pagar putih yang terbuka lebar.
“Aku akan membayar berapapun yang anda minta, nona....” bujuk Shane mencoba peruntungan.
“Aku tidak tergiur dengan harga tinggi. Masih banyak ladang lavender yang bisa anda beli,” jawabnya datar saja tanpa menatap wajah Shane.
“Aku hanya tertarik dengan milikmu.” Shane menekankan perkataannya. Serius pun dengan raut wajah tak kalah serius.
“Keputusanku tidak bisa dirubah,” Hesley kekeh pada pendiriannya.
Shane berkacak pinggang sambil membuang nafas kasar. Masih pada posisi sama. Ia tatap wajah Hesley dengan sorot mata dinginnya yang mampu menguliti hidup-hidup. Tapi, wanita yang sedang ia tatap tajam tak bergeming sedikitpun.
“Uangmu tidak akan selalu bisa membeli semua kenginginanmu, Tuan.”
“Tidak semua orang merelakan segala hal hanya untuk uang. Ada bagian tertentu yang tidak akan bisa digantikan oleh uang,”
Setelah mengatakan hal itu, Hesley berbalik cepat lalu menutup pintu sedikit dibanting. Ia kunci atas bawah lalu bersandar di daun pintu. Ini pertama kali bersikap berbeda, semarah apapun biasanya ia hanya diam. Ia tidak suka jika usahanya dipandang sebelah mata karena hasil yang tidak seberapa.
“Nona, aku datang dengan cara baik-baik. Bahkan, aku menawarkan harga lebih tinggi dari harga pasar!” teriak Shane dari luar.
Tidak mau lagi mendengar teriakkan pria itu, Hesley meninggalkan pintu kembali ke lantai dua. Menyumbat kedua telinga dengan earphone, ia naikkan pengeras suara agar tidak lagi bisa mendengar teriakan dari bawah. Ya, Shane berteriak dari halaman yang bisa dilihat dari balkon.
“Pria tidak waras.” Gumam Hesley.
Tak lagi ada suara berisik yang terdengar, Hesley melepas kedua benda yang menyumbat telinga. Mengerutkan dahi lalu melangkah menghampiri besi pembatas balkon. Kosong, tersenyum tipis lalu berbalik masuk kembali ke dalam rumah. Belum sampai melewati pintu kaca pembatas antara balkon dan ruangan itu, sebuah kaleng kosong mendarat di lantai keramik hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Berbalik badan dengan kedua mata membulat sempurna. Masih menatap kaleng kosong itu heran, dari mana asalnya sedangkan ini lantai dua. Satu kaleng lagi mendarat tak jauh dari kaleng sebelumnya. Hesley mengerjap polos berkali-kali melihat kaleng kedua.
“Hey! Keluar! Atau botol vodka ini juga akan menghiasi balkonmu!”
Hesley menggeleng pelan lalu berlari menghampiri pembatas balkon, sontak kedua bola matanya ingin melompat dari tempatnya. Bagaimana tidak, di halaman Shane membawa sekarung kaleng kosong yang entah didapat dari mana.
“Cepat turun! Lalu kita sepakati kerja sama ini!” teriaknya memaksa.
“Aakkkhh” pekik Hesley karena satu buah pisang kecil menimpuk jidatnya.
“Dalam mimpimu, Tuan!” balas Hesley berteriak dari atas.
“Dasar bodoh! Aku memberimu keuntungan, bukan kerugian.”
Meremas besi pembatas kuat. Bibirnya mengatup erat. Siapa dia mengatainya bodoh. Meninggalkan balkon tanpa sepatah kata. Kembali dengan satu ember air sabun penuh busa. Ia tumpahkan ke bawah tepat pada Shane. Kemudian melempari telur, disusul satu baskom tepung. Menepuk kedua tangan untuk membersihkan sisa tepung. Tersenyum miring melihat pria menyebalkan itu mirip udang tepung yang siap di goreng.
“Aku tidak memiliki minyak goreng yang cukup, Tuan. Aku yakin rumahmu tersedia minyak goreng yang melimpah untuk menggoreng tubuhmu!” Teriak Hesley kemudian terkikik geli.
“Sial!” umpat Shane meraup wajahnya yang dilelehi telur.
Mendongak menatap tajam wanita itu yang tertawa puas telah membuat dirinya seperti udang tepung. Semakin panas dadanya dengan perkataan wanita itu yang menyuruh menggoreng diri.
“Kau! Keterlaluan.”
“Apa kurang? Aku bisa menambahkan lagi,” tanya Hesley tanpa dosa. Jelas-jelas pria di bawah itu sudah susah membuka kelopak mata dan ia malah siap menambahnya lagi.
“Kau! Tidak waras!” teriak Shane. Kali ini suaranya terdengar sangat marah.
Setelah kepergian Shane, Hesley cepat-cepat turun dan mengunci pintu pagar. Cekatan ia membersihkan halamannya agar tidak bau amis. Ia hampir muntah karena dua telur busuk diantara banyaknya telur yang dilempar.
Sepanjang langkah Shane, beberapa orang menutup hidungnya kuat-kuat karena tidak tahan dengan bau yang menguar dari tubuh Shane.
“Shane!”
“Ya Tuhan! Busuk sekali baumu,” ucap Zil spontan menutup hidung dia kuat begitu ia berada di depan Shane.
“Kau bilang aku bau busuk,” pelan ia ucapkan.
Setelahnya ia menarik tengkuk Zil lalu mengapit di ketiak. Juga meraupi wajah, rambut Zil agar berbau sama dengan dirinya. Shane bawa Zil kembali ke hotel tapi terus membagikan sisa tepung yang bercampur telur busuk kepada wajah Zil.
“Sahabatku itu memang memiliki bakat seni. Seni menepungi pria tampan,” gumam Reyna dari balik jendela. Setelahnya ia tertawa lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Girl
RomansaKetika kamu kembali dipertemukan dengan cinta disaat hatimu telah lumpuh untuk merasakan rasa itu lagi. Memilih untuk meninggalkan negara tercinta lalu menetap di sebuah desa dan memutuskan mendirikan toko bunga serta mengolah lahan, justru memperte...