Terbelenggu

3 0 0
                                    

Masih terngiang dalam pikirannya tentang ucapan Shane tadi pagi. Cukup mengagetkan untuk Hesley sendiri. Senang, tentu. Permintaan itu di utarakan langsung oleh pria yang dulu pernah bersemayam dalam hatinya. Mungkin sampai saat ini pun masih ada. Tapi, rasa ragu seolah menyadarkan Hesley akan kenyataan yang pernah ia alami. Saat ini, dirinya sangat sulit untuk mempercayakan apa itu cinta dan pernikahan. Sungguh, ia pun juga ingin seperti wanita lain yang bahagia bersama orang tercinta dalam ikatan suci. Tapi kembali lagi pada kenyataan, jangankan menikah, percaya dengan cinta saja tidak bisa.
Sepanjang hari Hesley hanya berada di dalam kamar menonton film di saluran tv berlangganan dan ditemani dengan camilan yang memenuhi ranjang besarnya. Dering ponsel mengalihkan pandangannya. Ia raih benda pipih itu lalu menggeser tombol hijau.

“Ya. Hallo,”

Kau dimana? Leon terus menghubungiku menanyakan keberadaanmu,” seru Reyna dari seberang panggilan.

“Nanti akan aku hubungi dia. Rey, tolong jagakan tokoku,”

Kau tidak perlu khawatir tentang toko.” Terdengar helaan nafas dari seberang panggilan.

Sley, apa kau baik-baik saja? Apa pria itu melukaimu? Perlu kah aku memberi tahu Leon?” suara Reyna terdengar ragu dan khawatir.

“A-ku baik. Emm, kau tahu dari mana?” tanya Hesley.

Aku tidak sengaja mendengar percakapan Zil dengan Shane melalui panggilan,” jelas Reyna.

“Tolong jangan katakan pada Leon jika aku berada di sini bersamanya. Mungkin, memang masalahku dengannya harus segera diselesaikan. Aku ingin hidupku kembali damai dan tenang,”

Aku akan tutup mulut. Akan lebih baik kau juga harus memberinya kabar,”
“Yah. Nanti aku akan menghubungi Leon.”

Setelah menghabiskan kurang lebih tiga puluh menit, sambungan panggilan itu ditutup. Bisa berbincang dengan orang terdekat memang menaikkan mood untuk siapa pun.

Setelah membersihkan tubuh, Hesley kembali ke ranjang menikmati hidupnya yang seperti tawanan. Melirik ponsel di samping bantal, ia raih lalu masuk ke media sosial pribadinya yang hanya mengikuti Leon. Sangat tidak mungkin menggunakan nomornya. Satu pesan ia kirimkan kepada Leon. Tak berselang lama panggilan vidio masuk.

“Kemana saja kau! Tidak tahukah kau, jika aku khawatir,” sembur Leon.

“Tenanglah, aku sedang menikmati hariku.”

“Jadi, sekarang kau dimana?” tanya Leon masih dengan wajah serius.

“Hanya beda kota saja,” jawab Hesley. Lalu mengubah kamera belakang.

“Lihat, aku menghabiskan uang yang kau berikan padaku.” Tunjuknya pada deretan paperbag yang belum ia keluarkan isinya.

“Bagaimana? Kau belum percaya?” Hesley mengubah kamera menghadap wajahnya kembali.

“Ah, begitu. Mau aku transfer lagi? Berapa?” Leon mengambil ponsel satunya dan siap mengirimkan beberapa jumlah uang.

“Tidak. Tidak. Uangku masih sangat banyak. Uang yang selalu kau kirim kepadaku tidak pernah aku gunakan, jadi kali ini aku menggunakannya sedikit,” cegah Hesley cepat.

“Benar begitu? Katakan jika uangmu habis, jangan sampai kau jadi gembel karena kehabisan ongkos pulang,” Leon memastikan.

“Sangat cukup. Maafkan aku jika aku tidak menghubungimu,”

“Tidak masalah, bersenang-senanglah kau. Aku khawatir karena kau tanpa pamit dan tidak bisa ku hubungi,” papar Leon. Wajahnya pun tampak lega melihat Hesley baik-baik saja.

“File rincian untuk persentasi besok dan minggu depan telah ku kirimkan ke emailmu,”

“Aku sudah menerimanya. Inikah alasanmu membantuku lebih banyak dan lebih awal selesai?”

“Kau pikir, aku mau makan uangmu cuma-cuma. Aku harus memberikan imbal balik juga,”

“Aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Bahkan, aku rela miskin jika uangku bisa membelikan semua kebahagianmu,” ujar Leon tulus.

“Kalau begitu, aku akan merampokmu. Wow, mendadak menjadi Billionaire.” Sorak Hesley. Lalu tawa keduanya meledak memenuhi isi kamar.

“Leon, kau sudah makan?” tanya Hesley setelah tawanya reda.

“Setelah ini aku akan makan,” jawabnya. Dari layar ponsel belakang Leon menampilkan gedung berjajar deng lampu yang masih menyala.

“Baiklah, kalau begitu jangan matikan sabungan ini sebelum aku melihatmu makan,”

“Oh, ayolah. Aku sedang malas untuk makan,” keluh Leon memelas.

“Kalau kau sakit bagaimana? Hanya kau, orang yang selalu menjadi sandaranku,”

“Aku akan makan. Aku akan rajin cek kesehatan, puas kau!”

Hesley tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol ke layar ponsel. Apa yang diungkapkan Hesley itu benar, orang  yang paling menjaganya dan menjadi terdepan hanya Leon. Orang yang siap merelakan waktu dan materi hanya untuk dirinya.

Jam dua pagi Shane baru pulang. Wajah lelah dan mengantuk tercetak jelas. Namun, senyum bibirnya tak kunjung memudar sedari perjalanan menuju pulang. Semua ruangan gelap, hanya beberapa lampu redup yang menyala. Langkahnya menuju lurus ke kamar yang di tempati Hesley. Perlahan ia buka pintu itu untuk melihat apakah wanita itu sudah. Sekilas mendelik melihat kamar yang semula bersih teratur, kini mirip kapal meledak.
Perlahan ia masuk untuk melihat wajah wanita pujaannya itu tidur. Tenang dan damai. Dengkuran halus dan teratur seolah melenyapkan rasa lelah yang sempat menguasai Shane. Ia usap lembut puncak kepala Hesley lalu beranjak meninggalkan kamar tanpa menimbulkan suara yang akan mengusik tidur. Menutup pintu pun amat sangat pelan.

Meski satu rumah bersama wanita yang dicintai, Shane memilih tidur di kamar lain. Saat ini yang ia pikirkan membuat wanita itu nyaman bersamanya. Dering ponsel di atas nakas mengalihkan perhatian Shane yang siap untuk membersihkan tubuh. Ia hampiri untuk melihat siapa yang menghubunginya di pagi setengah malam ini. Hanya melihat akhir nomornya, Shane mendengus kesal. Ia geser tombol hijau lalu menempelkan di samping telinga.

“Aku lelah, kita bicarakan besok. Semua ini tidak ada hubungannya dengan Hesley, Cel!”

Setelah mengatakan hal itu, Shane menutup sambungan panggilan. Lantas, ia masuk ke dalam kamar mandi.

Genggaman pada gelas mengerat kuat. Di luar kamar Shane ada Hesley yang berdiri di samping pintu yang tidak tertutup rapat. Tidak sengaja mendengar obrolan Shane dengan orang yang berada di seberang. Hesley terbangun setelah Shane keluar, awalnya hanya ingin mengambil air mineral karena haus. Tapi, saat melewati kamar Shane tidak sengaja mendengar perbincangan pria itu. Kalimat terakhir yang menyebutkan nama meski tidak lengkap tapi Hesley tahu siapa itu. Ia pun segera mengambil air dan masuk ke dalam kamar. Tidak lupa mengunci rapat.
Tanpa Hesley sadari, kedua matanya mulai berair. Tidak ia sangka jika Shane masih berkomunikasi baik dengan wanita itu. Sempat memikirkan ucapan pria itu yang menawarkan pernikahan, tapi lagi dan lagi ia harus menelan kapsul pahit. Bibirnya tersenyum namun kedua matanya menjatuhkan bulir bening yang semakin deras. Sungguh, ia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya ini. Logika menolak kehadiran pria itu, tapi tubuhnya tunduk pada perlakuan yang pria itu suguhkan. Ia benci pada situasi yang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

The Flower GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang