“Pria itu sekarang makin sialan,” umpat Hesley pelan.
Tidak ada kegiatan apa pun di tempat ini yang bisa Hesley lakukan. Bosan yang dirasakan wanita itu. Sekilas ia menyapukan seluruh kamar, lalu kembali melemparkan pandangan ke luar jendela menatap gedung-gedung berjajar yang menjulang tinggi.
“Huh! Bisa mati bosan aku, jika terus begini.” Desah Hesley kesal.
Menyambar tas yang kemarin ia beli. Ia kenakan juga sepatu santai.
“Antar aku ke kantor tuanmu yang keparat itu!” perintah Hesley pada pengawal yang memang menjaga di depan pintu kamar.
Ruangan besar yang berada di lantai paling tinggi itu, Shane terlihat sangat sibuk dengan tumpukkan kertas. Memainkan kedua tangan dengan lihai. Tatapannya fokus pada apa yang dikerjakan.
“Ada berapa kali pertemuan di minggu ini?” tanya Shane datar pada sekertaris kedua tanpa mengalihkan titik fokusnya.
“Delapan kali pertemuan,”
“Di mulai dari besok, padatkan jadwal. Aku ingin segera selesai,” ujar Shane masih pada posisi.
“Baik,”
“Sudah waktunya makan siang, mau makan di luar atau di ruangan?” tanya si sekertaris.
“Di ruangan,” jawabnya.
Sekertaris itu menunduk lalu undur diri. Belum sempat menyentuh gagang pintu, pintu besar itu lebih dulu dibuka kasar. Tanpa mengetuk atau permisi masuk begitu saja. Terpaksa ia memutar mengikuti seorang wanita itu untuk menghadang.
“Kembalikan ponselku!” teriak Hesley sambil memukul lengan Shane menggunakan tas miliknya.
“Tuan, maafkan saya...”
“Kau keluar!” perintah Shane.
“Ada apa sayang?” tanya Shane lembut pun senyum manis.
Tas milik Hesley menghantam ke kepala Shane, hingga pria itu mendelik kaget sambil memegang kepalanya sendiri. Masih posisi duduk di kursi kebesarannya.
“Hei, apa salahku?”
“Kau, sialan!” maki Hesley. Kembali menghantamkan tas ke kepala Shane.
“Oke. Stop! Apa maumu?”
“Berikan ponselku atau kau berikan aku uang untuk membeli baru?”
“Kemarin kau menghabiskan jutaan dollar tanpa permisi, lalu hari ini kau pura-pura meminta uang,”
Wajah Hesley seketika datar, sedatar papan triplek. Melepas salah satu sepatunya lalu ia hantamkan ke seluruh tubuh Shane berkali-kali. Ya, kesalnya mencapai level overdosis.
“Seluruh toko ponsel tidak mau memberiku satu ponsel dengan alasan harus dengan izinmu! Lalu, aku harus apa? Selain mengeruk saldomu! Kau memang keparat!” murka Hesley dengan brutal menganiaya Shane.
“Sudah?” tanya Shane. Berantakkan sudah penampilan pria itu. Rambutnya acak-acakkan, dasi tertarik, kemeja putih yang telah bermotif telapak sepatu, dan hidungnya satu lubang mengeluarkan darah.
“Akan ku habiskan uangmu,” ucap Hesley sambil mengangkat kartu hitam yang entah sejak kapan berada di tangannya.
“Habiskan! Aku akan bekerja keras lagi,” sahut Shane terlampau santai sambil menyandarkan punggung.
Detik setelah kalimat itu keluar, layar komputer yang berada di meja terkurap dan serpihan kaca menyebar ke berbagai tempat. Ya, Hesley menumbuk komputer itu sebagai pelampiasannya. Lalu membalik bingkai yang ada di meja itu. Tanpa dosa, ia pun keluar dari ruangan Shane setelah mendapatkan kartu penukar dunia. Masih melenggang santai sambil menenteng satu sepatu. Saat melewati meja sekertaris Shane, ia pun menghantamkan sepatu ke komputer. Terjungkal dan pecahan kaca dari monitor menyebar di lantai. Setelahnya memakai sepatu itu dan meninggalkan perusahaan.
Masih dengan penampilan tak karuan, Shane menyusul Hesley yang telah hilang dari balik daun lif.
Denting lift terdengar dan Shane sudah berdiri di depan lift itu. Begitu bingkai itu terbuka, Shane tarik tangan Hesley lalu merengkuh pinggang ramping wanita itu. Keduanya melangkah bersama dengan disaksikan banyak pasang mata. Senyum palsu pun Hesley paksa melengkung.
**
“Apa yang kau lihat? Sehingga tersenyum manis sekali,” tanya Shane dari sofa balkon.
“Ingin tahu saja kau. Urus saja kertas bodohmu itu!” jawab Hesley ketus. Itu pu ia tidak menatap orang yang bertanya.
Shane membawa Hesley ke penthouse pribadinya. Meski hotel itu miliknya, tapi penthouse akan jauh lebih aman. Bukan tidak mungkin jika para pemburu berita akan mengunggah kabar asal saat melihatnya keluar masuk hotel.
“Ck. Tiga hari ke depan aku akan sedikit sibuk dan pulang larut. Jangan menungguku...”
“Untuk apa aku menunggumu, tidak penting.” Potong Hesley cepat tanpa mengalihkan pandangan ke layar ponsel.
Shane merotasikan kedua bola mata asal. “Jika mau jalan-jalan, pakai sopir dan pengawal.” Peringatnya.
Hesley beralih masuk ke dalam kamarnya, ia berjalan tanpa mengalihkan tatapan dari ponsel pun tanpa pamit pada Shane.
Denting pesan masuk ke dalam ponsel Shane. Tidak hanya satu, tapi lebih dari sepuluh. Membuang nafas kasar setelahNya ia mengetikkan kalimat singkat.
**
Meja makan yang tak pernah digunakan untuk sarapan, pagi itu tak lagi kosong. Sambil mengunyah roti, ia pandangi wajah wanita itu yang duduk bersebrangan dengannya. Bibirnya tertarik membentuk garis lengkung ke atas.
“Menikahlah denganku,” celetuk Shane sambil menikmati roti.
“Masih sangat pagi. Jangan memulai,” jawab Hesley datar tanpa.
“Aku tidak bercanda,”
“Simpan bualanmu. Pergilah dan bekerja” ucap Hesley. Selanjutnya ia meninggalkan meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Girl
RomanceKetika kamu kembali dipertemukan dengan cinta disaat hatimu telah lumpuh untuk merasakan rasa itu lagi. Memilih untuk meninggalkan negara tercinta lalu menetap di sebuah desa dan memutuskan mendirikan toko bunga serta mengolah lahan, justru memperte...