Kertas Bucin Al-Fiyyah

185 6 2
                                    

Awal Cerita

Aku duduk pada pendopo ujung yang terhalang pagar beton dengan pondok santriwati. Saat itu, aku tengah menghafalkan beberapa bait dari kitab dengan khat arab di bagian cover kitabnya yang bertuliskan alfiyah ibnu malik. Saat itu, hafalanku sungguh amburadul, sehingga aku harus mencari tempat yang memang benar-benar tenang dan tentram. Ya, tepatnya di pendopo ujung yang sebenarnya menjadi tempat favorit para santri lama atau pengusrus pondok putera. Tentu saja, di sela-sela pagar pembatas itu ada sebuah celah yang cukup besar yang dapat memperlihatkan sedikit pemandangan yang ada di sebelah pagar beton ini. Lebih tepatnya pemandangan para bidadari pesantren yang sedang berlalu lalang di dekat pagar pembatas yang berdiri kokoh ini.

Kubuka lembaran kertas yang terselip dari dalam saku baju kokoku. Sudah mulai mengeras karna aku lupa mengeluarkan kertas ini dari dalam saku saat mencuci bajuku yang satu ini. Jadilah seperti sekarang, mengeras dan agak umuk. Perlahan kubuka tiap lipatannya dengan sangat perlahan, agar tidak merusak tulisan yang ada di dalamnya.

Aku tersenyum simpul saat lipatan kertas berhasil kubuka tanpa merobek bacaan yang ada di dalamnya.

“Wa’ulqatun haashilatun bitabi'in # Ka’ulqatin binafsil-ismi al-waqi’i”

Salah satu bait dari kitab alfiyah ibnu malik yang tepatnya berada pada bait no. 266, yang sangat menunjukkan keadaan suasana hatiku yang sedang dirundung rindu, pada gadis yang saat ini jauh dariku, tidak berada di sisiku. Maknanya sangat mendalam tentang cinta dari jarak jauh. Begitulah kami para santri, menggalau dan membucin dengan cara mengingat hafalan yang dapat dikaitkan dengan suasana hati. Satu bait ini yang paling spesial untukku, dengan inisial nama di bagian pinggir tulisan itu, inisial nama (A), yang tidak lain adalah nama dari gadis yang saat ini aku rindukan.

“Akhi Abim. Apa yang antum lakukan di sini?” tanya salah seorang pengurus kepadaku, sontak saja aku meremas kertas yang ada di tanganku lalu melemparnya entah kemana. Di pondok, sebenarnya tidak diperbolehkan membucin seperti itu, jika ketahuan maka akan mendapatkan sanksi dari pengurus.

“Ngafal, Al-'Ah,” jawabku tanpa berpikir dengan memperlihatkan kitab alfiyyahku yang masih ada di tangan.

Al-'ah adalah sebutan yang kami peruntukkan untuk para pengurus di pondok santri putra ini.

Merekalah yang menjadi squad terkuat yang berkuasa di atas para santri, mereka yang membuat peraturan serta menjaga dan mendidik kedisiplinan keseharian santri putra.

“Sebentar lagi masuk waktu makan siang. Jangan lupa! Pahimta?”

“Pahimtu, Al-'ah.”

Al-'ah beranjak dari hadapanku, pergi ke tempat lainnya untuk mencari para santri yang berkeliaran di halaman pondok. Aku menilikkan mataku ke kanan dan ke kiri, mencari kertas yang baru saja kulempar bebas.

"Di mana?" umpatku masih berusaha mencarinya, kalau ada yang menemukan itu bakalan gawat ini. Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

Deg!

Kutelan salivaku cukup berat, perlahan menilikkan mataku pada celah pagar, hatiku bertalun-talun, melihat bayangan seorang perempuan dengan pakaian syar'i nya sedang membuka sebuah kertas yang tak lain adalah kertas yang sedang kucari sedari tadi. Sekilas dia menautkan pandangannya ke arahku yang sedang hampir ingin kehabisan napas. Dia pun tersenyum sipu lalu menjalankan kursi rodanya.

Aku mendadak panik, seperti ikan yang dilempar ke daratan dan hampir kehabisan napas karna tidak ada air.

"Bagaimana ini, bagaimana kalau dia lapor ke bagian pengurus santriwati? Aduh! Habislah aku!"

Tidak! Aku harus bagaimana? Ingin menyergahnya tapi masa iya aku teriak dari sini dan menjadi pusat perhatian seluruh alam, itu sama saja bunuh diri namanya.

Argh!

"Abim, yuk makan!" ajak Arka yang telah siap membawa nampan makanannya.

"Antum duluan aja, nanti ana nyusul," jawabku lesu.

Seketika saja nafsu makanku lenyap bak ditelan bumi. Membayangkan hukuman apa yang akan aku dapatkan, Al-'Ah akan mendapatkan laporan dari pengurus santriwati. Bisa-bisa aku dibotak. Aaaa, tidak!

Bagaimana jadinya, santri yang dikenal taat dan disiplin sepertiku ini mendapatkan hukuman yang sangat memalukan itu. Kemarin saja, baru saja aku mendapatkan penghargaan santri ter the best quality. Yakali kan sekarang malah dihukum.

"Heh, Bim. Antum kenapa sih? Perasaan tadi pagi oke-oke aja." Kukira Arka telah beranjak dari pijakannya, ternyata masih di sini menatapku yang sedang melamun meratapi nasibku pada beberapa jam kedepan.

"Arka, antum kan yang paling berpengalaman nih dulu sering dihukum," ujarku belum selesai.

"Sudah jangan ngehina anna dah, Bim."

"Bukan gitu, makanya dengerin dulu kalau orang lagi ngomong. Jangan main potong aja!"

"Oke, maaf. Terus, apaan?"

"Nah, hukuman buat santri yang ketahuan nulis inisial cewek, apaan?"

Arka menatapku jeli. Dari ekspresinya, perasaanku sudah tidak enak hati. Yakin dah, seratus persen, dia pasti bakalan mojokin aku. Tunggu aja! 1,2,3....

"Jangan bilang kamu ketahuan ya, Bim?"

Arka berdehem lalu menggulung sedikit ujung lengan baju kokonya. "Ehem. Jadi gini, Bim. Hukumannya itu berat banget. Bisa-bisa antum bakalan dibotak, terus dijemur di lapangan santriwati dengan berteriak hukuman apa yang sedang antum jalani."

Aku merinding membayangkan berada di posisi itu. Enggak, apapun yang terjadi, aku nggak boleh kena hukuman.

"Arka, bantuin ana, pliss!"

"Bantuin apaan?"

Ish, Arka ni pura-pura pula lah tidak tahu.

"Gawat! Tadi anu, anu!" Aku merasa bingung apa yang harus aku jelaskan.

"Anu, anu apaa?" Arka menggaruk kepalanya bingung.

Aku pun menceritakan apa yang baru saja terjadi. Arka menyimak dengan penuh penghayatan, sedangkan aku panas dingin merasa ketakutan.

"Jadi gitu," ujarku menyudahi ceritaku.

"Waduh, antum ni kenapa lalai sih?"

"Ya gimana dong? Ana nggak sengaja."

"Tenang, Bim. Ana bakalan cari cara biar antum ga ketahuan." Arka menepuk pundakku pelan.

"Sekarang, kita makan dulu ana udah laper ini," sambung Arka mengelus perutnya yang memang telah mengeluarkan bunyi dari cacing-cacing perutnya itu.

Aku mendesah pelan. Memperbaiki posisi peci yang sudah miring dan memasukkan kitab kecil yang sedari tadi aku pegangin kedalam saku baju. "Yasudah, yuk! Ana juga udah laper."

Aku merangkul bahu Arka dan kami berjalan menuju dapur untuk ikut mengantri nasi serta lauknya.

.

Aku masih duduk termenung di depan ruangan aula. Tak tahu harus berbuat apa, meratapi nasib yang akan terjadi setelah ini.

"Akhi Abim, antum dipanggil Kiayi ke ruangan beliau," tutur salah seorang pengurus padaku.

"Kiayi?" Aku membulatkan mataku, apa ini? Bagaimana bisa Kiayi tiba-tiba mencariku? Jangan-jangan. Argh, ini sangat menakutkan.

"Na'am, Al-'Ah. Syukron."

Langkahku gemetar, terlebih saat akan memasuki ruangan Kiayi yang ada di bagian paling ujung kantor Asatidz/ah.

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang