[35] damn, i'm madly in love

3.3K 269 101
                                    

WHAT can she say, this is the wonderful morning ever.

Tere tahu hidupnya tak lagi sama sejak dia mengenal Khaw. Dia juga tak mengerti mengapa dia berada di sini. Dari Jo, lalu Khaw. Sudah pasti bukan karena peralihan patah hatinya. Sekalipun kata cinta belum terucap terang-terangan, tetapi Tere tahu dia tak mau jika tak ada Khaw.

"Morning." Tere mengecup lembut pipi kanan Khaw.

Sang pemilik wajah menggeliat. Hidung mancung Khaw mengerut, begitu juga dahi dan bibirnya sebelum mengulas senyuman teduh. "Morning, Sunshine." Khaw menggapai tengkuk Tere, membawa kening perempuannya untuk disapu bibirnya.

"Are you feeling better?"

"Much better." Khaw mungkin belum pulih seutuhnya, tetapi siapa yang tak bahagia orang terkasihnya menemaninya sepanjang malam? "Maaf, ya, kamu jadi harus tidur sempit-sempitan gini."

"Omong apa, sih, Hon?" Tere mengacak gemas rambut pendek Khaw. "Aku pulang sebelum dokter visit, ya," katanya lagi.

Khaw cemberut. Satu, Tere memperlakukannya selayaknya anak kecil. Dua, Khaw mau Tere lebih dari apa pun. Kalau perlu tak boleh ada siapa pun yang masuk ke kamar rawat inapnya selain mereka berdua. "Stay, please. Aku nggak mau ditinggal kamu."

Tere terkekeh. Kekasihnya manja sekali. Masih di posisinya menelungkup di sisi Khaw, Tere merapikan anak-anak rambut di pelipis Khaw. Jemarinya menelusuri kening dengan sepasang mata indah yang tak beranjak dari wajah Khaw. "Entar kalau Oma datang, gimana? Mau jawab apa aku masih di sini? Hm?"

Khaw membungkus tangan Tere ke dadanya. "Sampai kapan kita mau diem-dieman?"

"Meaning?"

"Kamu nggak selamanya terpikir menyembunyikan hubungan kita, kan?"

Tere terperenyak. Dari banyaknya waktu dia tak menduga Khaw memilih pagi ini. "Isn't it too early to talk about it?" Sejujurnya tidak pernah ada waktu yang tepat. Tere dan Khaw harus menciptakannya.

"You have no idea how helpless I was." Keadaannya dan kondisi hubungan mereka seperti perpaduan sempurna. Khaw merasa tak berguna. Siapa pun tak ada yang ingin menyelungkupi pemilik hatinya. Tere-nya, cinta sepuluh tahunnya.

Lagi dan lagi Tere tak tahu mesti berkata apa. Sorot mata Khaw turut melukainya. "Kamu tahu, kan, sejak awal hubungan ini nggak mudah? Aku ...." Tere menelan ludah berat. "It will be fine if you want to withdraw now."

Khaw mengerjap-ngerjap. Setelah mereka sedekat nadi, lalu Tere mendorongnya pergi?

"Don't push me away," kata Khaw pada Tere yang duduk di tepian ranjang pasien. Khaw benci menatap punggung Tere. "Aku bukan orang yang mudah menyerah, Re. Aku harap kamu juga begitu. I'll never leave you, until you beg me to give up."



Lima hari dirawat, Khaw akhirnya diizinkan pulang.

Oma menawarkan untuk menjemput dan Khaw menolaknya dengan dalih tak mau merepotkan. Kenyataannya Tere Soemarjo lah orang yang paling disibukkan. Pukul satu siang di hari Jumat, owner thenyou dalam balutan gaun putih santainya tampak mondar-mandir memastikan tak ada barang yang tertinggal.

"Sayang, aku nggak perlulah di kursi roda gini. Aku bisa jalan, kok."

Oyis terkikik. Dia baru saja menyelesaikan urusan administrasi. Pelototan Khaw membuatnya bungkam. "Tinggal duduk manis, Bubos. Repot amat." Oyis nyengir tak bersalah.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang