[3] beautiful disaster

1.6K 257 52
                                    

TERE bolak-balik melempar mata ke gerbang masuk vila.

Perempuan itu menanti kepulangan Khaw. Kalau bukan karena Ketut yang memberi tahu, Tere pikir Khaw masih terlelap. Ketut bilang, Khaw keluar pagi-pagi sekali. Langit masih gelap. Khaw mengenakan setelan olahraga lengkap dengan running shoes-nya.

Di meja makan Tere sudah selesai menyajikan english breakfast ala Tere Soemarjo. Dia membuat telur mata sapi, kacang putih yang dimasak dengan saus tomat, bacon, sosis, jamur, dan tomat goreng. Dengan masing-masing berjumlah dua. Tak ketinggalan sepiring toast bread, juga secangkir teh dan kopi. Tere tak terkejut bisa dengan mudah menemukan semua bahan tersebut di kulkas—bahkan untuk satu tempat yang lebih sering tidak dihuni.

"Morning, Khaw."

Khaw membeku tidak jauh dari sofa. Perempuan yang menyebabkannya susah tidur semalam tampak duduk di salah satu kursi di meja makan, menghadap ke arahnya, dengan senyum cantik yang tak lepas dari bibirnya. Sialan. "Morning," bisik Khaw.

"Yuk, sarapan." Tere mengedik ke kursi di seberangnya.

Hanya anggukan ragu yang bisa Khaw berikan. Khaw tidak punya pilihan.

Diam-diam, Tere memperhatikan Khaw. Tubuh Khaw yang berkeringat terekspos jelas karena Khaw hanya mengenakan sport bra berwarna hitam. Keluaran terbaru dari brand ternama. Rambut pendeknya diikat separuh, menampakkan sepasang anting bermodel sederhana. Khaw menyantap sarapannya tanpa suara. Dia lebih sering menunduk daripada membalas tatap dari Tere.

"Kamu joging kenapa nggak ajak-ajak?"

Khaw mendongak, mengerling. "Saya takut ganggu Kak Tere."

Tere memiringkan kepala. Dia hampir lupa bagaimana Khaw menggunakan kata ganti untuk dirinya sendiri. "Besok-besok kalau joging lagi, ketuk kamar aku dulu, ya," pinta Tere.

Khaw ingin menolak. Bagaimana mungkin dia mengajak Tere jika alasan sebenarnya dia lari pagi justru karena ingin menghindari perempuan itu. "Iya." Lagi-lagi, Khaw tak punya pilihan.

"Tapi aku nggak bawa pakaian olahraga, sih," keluh Tere setelah meneguk kopi hitamnya. "Eh, tapi kita bisa beli dulu kali, ya, hari ini? Gimana?"

Bukan ide yang bagus. Khaw menelan ludah. Dia meraih cangkir tehnya. Tere sengaja menyiapkan dua minuman berbeda karena Tere tidak tahu Khaw lebih suka yang mana. Ternyata Khaw tidak bisa kopi. Perutnya menolak. "Kak Tere mau pergi jam berapa?" Khaw menggigit lidahnya. Kenapa pula dia harus bertanya?

"Siang ini? Di Beachwalk? Sekalian sunset-an di Pantai Kuta."

"Boleh." Pikir Khaw, lebih cepat lebih baik.

Atau, kalau Khaw mau sedikit lebih jujur pada dirinya, sebenarnya Khaw penasaran bagaimana rasanya jalan-jalan, menikmati waktu berdua di ruang publik, bersama seseorang yang menjadi cinta pertamanya.

"Omong-omong, Khaw, suka nggak sarapannya?"

Khaw mengangkat wajah lagi. "Iya, suka."

Tere menghela napas berat. Perempuan cantik dengan wajah tanpa riasan itu melepaskan garpu dan pisaunya. Tere melipat tangan di atas meja. "Ini sebagai permintaan maafku untuk kejadian kemarin. Aku benar-benar merasa nggak enak. Nggak seharusnya aku masuk ke ruang personalmu."

Tanpa sadar, lagi-lagi pipi Khaw tersipu. Tak mau ketahuan Tere, Khaw menyembunyikan dengan menundukkan wajah dalam-dalam. Khaw tahu Tere sungguh-sungguh dengan kalimatnya. Khaw saja yang masih terus terdistraksi. "Nggak papa, kok, Kak. Bukan salah Kak Tere. Keburu-buru pengin mandi, saya sampai lupa kunci pintu."

Wow! Tere kira Khaw tak bisa berbicara panjang lebar dengannya.

"Pak Ketut nggak selalu standby di sini, kan, Khaw?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang