[4] pendekatan pertama

2.1K 326 127
                                    

"IYA, aman, kan, Yis? Semua jadwal di-reschedule sesuai agenda Kak Kara."

Khaw melenggang keluar kamar dengan ponsel di telinga kanannya. Perempuan itu tampak santai dalam balutan atasan tanpa lengan berwarna merah marun yang dipadukan dengan denim short pants. Ketika matanya bertemu mata indah Tere, Khaw refleks menunjuk ponselnya.

Tere mengangguk paham. Tanpa suara, Tere mengangsurkan kunci mobil pada Khaw, yang disambut gerakan bibir berucap, "Thank you," sekaligus kedikan dagu ke gerbang vila.

Sesuai kesepakatan mereka akan ke Beachwalk Shopping Center di bilangan Kuta. Tere maunya pukul tiga. Khaw bilang sebaiknya lebih awal. Khaw tak yakin perempuan bisa memilih barang dengan cepat. Khaw takut kalau waktunya mepet ujung-ujungnya malah terlewat sunset di Pantai Kuta. Tere sendiri, kan, yang mencetuskan ide itu selain berbelanja keperluannya.

Berbeda dengan Khaw yang langsung masuk ke mobil, Tere sempat tercengang. SUV yang menunggu mereka adalah Audi Q8. Lagi-lagi Tere merasa bodoh. Dia sudah bersahabat seumur hidup dengan Kara, kenapa masih bisa sekaget ini? Tere tertawa sendiri di dalam hati.

"Kamu kayak pemain baru, deh, Yis." Khaw tergelak, mengundang Tere menolehkan kepala ke arahnya. Mereka sudah sama-sama duduk di jok mobil. "Sebelum jadi asisten saya, kan, kamu asistennya Kak Kara. Lupa?" Khaw tertawa lagi. "Kalau mentok, kamu tinggal lapor ke Martha. Biar bisa diterusin ke Oma."

Tere tersenyum kecil. Tere juga tak tahu mengapa tiba-tiba dia berharap Khaw lebih sering tertawa. Menyenangkan mendengarnya. Mungkin Khaw belum secair itu padanya karena mereka sudah lama tidak bertemu dan memang jarang berinteraksi. Pikir Tere, setelah ini gimana pandai-pandainya dia melakukan pendekatan pada Khaw. Bagaimanapun mereka bukan cuma satu-dua hari di Bali. Ada banyak waktu dihabiskan bersama. Tak ada salahnya memulai hubungan yang baik.

"Maaf, ya, Kak." Khaw menaruh ponselnya di kotak dekat persneling. Khaw memasang sabuk pengaman, lalu mulai menjalankan mobil.

"Nggak papa." Tere mengerling ke arah Khaw. Dia tersenyum. Khaw terlihat lucu sekaligus menggemaskan dengan kacamata oranyenya. "Itu tadi Oyis?"

Khaw mengiakan. Oyis—Audri nama sebenarnya, tetapi entah mengapa lebih suka dipanggil Oyis—memang bukan orang asing di keluarga Tirtadjaya. Gadis muda sepantaran Khaw itu, sebelum menjadi sekretaris pribadi Khaw di perusahaan, adalah tangan kanan Kara. Selain Pras, Oyis hampir selalu ada di antara Tere dan Kara. Bahkan, untuk waktu-waktu tertentu Oyis kerap diajak keduanya sekadar nongkrong di luar jam kerja.

"Memangnya Kara balik lagi ke BSD?"

"Iya. Kaget nggak?"

"Sedikit, sih." Tere tahunya Kara tak lagi ada keinginan untuk kembali ke perusahaan. Menjadi Nyonya Raharjo sudah cukup baginya. Pantas saja Kara belum membalas pesannya. Mungkin sahabatnya itu sedang disibukkan urusan pekerjaan. "Kara belum cerita apa-apa ke aku."

Khaw menelengkan kepala. "Belum sempat mungkin."

Tere mengangguk tipis. "Kenapa Kara mau?"

"Memangnya Kak Kara ada pilihan? Oma punya mau."

Benar juga. Padma Tirtadjaya masih memegang peranan penting dalam keluarga. Om Tiyo, begitu Tere memanggil Papi Kara dan Khaw, begitu menyayangi ibunya. Sebisa mungkin Tiyo menuruti kehendak sang ibu. Tere tertawa. Kara pasti merasa begitu tersiksa sekarang. Tunggu sampai Kara meneleponnya dan menyemburkan amarah karena lagi-lagi Oma menyelamatkan Khaw dan membuat Kara seolah-olah menjadi manusia paling nelangsa sejagat raya.

"Khaw, aku boleh minta nomor kamu, kan? Lucu aja, kita satu rumah, tapi aku nggak punya kontak kamu."

"Boleh, Kak." Khaw menyebutkan dua belas digit nomor ponsel pribadinya. Dia memang hanya memberikan pada orang-orang terdekat. Khaw melirik ponselnya, Tere yang menghubungi. "Nanti saya save nomor Kak Tere," kata Khaw lagi.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang