[42] don't play games

2.9K 261 158
                                    

"DUA kali dia jadi alasanmu kabur ke Bali."

Hari itu, pertengahan Desember, mereka membicarakan Alexandria Adams untuk pertama kalinya. Tere merasa dia perlu mengetahui siapa sebenarnya Ale. Bagaimana hubungan keduanya—kemarin dan kini, sudahkah Khaw dan Ale benar-benar selesai, dan di mana Khaw menempatkan Ale di hidupnya.

"Ale pacar pertamaku."

Kalimat pembuka Khaw membuat Tere membeku. Dia menguatkan diri. Selalu ada yang pertama. Entah mengapa Tere curiga akan ada banyak kejutan dalam percakapan mereka. Tere tidak bicara apa-apa. Dia hanya menatap Khaw, menunggu kekasihnya melanjutkan.

"Kami bareng ..., well, lima tahun." Khaw mengerling. Tere yang membeliak mengundangnya merapat dan menggenggam tangan perempuan itu. "I don't think this is a good idea." Karena kalau itu Khaw, dia lebih baik tidak mendengar apa pun perihal masa lalu Tere. Bersama siapa pun orangnya.

"That's okay. Go on."

Khaw menghela napas berat. "Hubungan kami benar-benar berakhir sebelum aku pulang ke Surabaya." Ini bagian terpenting. Poinnya di sini. Namun, isi kepala perempuan sering kali tak bisa ditebak.

"Hold on." Tere tahu semestinya dia tidak bertanya. "Selama lima tahun itu kalian ... tinggal bareng?"

Khaw meremas punggung tangan Tere. "Iya."

Pacar pertama. Lima tahun. Tinggal bareng. Model cantik dunia.

Bagaimana mungkin Tere tidak insecure? Alexandria Adams terlampau luar biasa untuk dia yang hanya seorang Tere Soemarjo. Tere tidak mengecilkan dirinya sendiri, tetapi rivalnya bukan lawan seimbang. Ini bukan tentang fisik semata, tapi juga memori. Tidak ada yang menggolongkan lima tahun sebagai waktu yang sebentar.

"Sunshine, ini yang nggak akan mau. The past is behind."

"Nggak apa-apa. Terusin."

Khaw mengesah. "Nggak ada lagi, Sayang. Cuma itu."

"Kenapa kalian selesai?"

Khaw memandang Tere dengan jenis pandangan yang seolah bertanya, "Really?" Tidak ada keuntungan dari mengetahuinya. Yang ada Tere malah semakin waswas. Bagi Khaw, di dunia ini ada beberapa hal yang lebih aman untuk tidak diketahui sama sekali—kecuali semesta yang mengulurkannya di depan mata, saat di mana tak ada kuasa untuk menolak.

"Klise nggak kalau aku bilang kami udah nggak lagi cocok?"

"Lima tahun dan baru sadar?"

Sarkasme dalam kalimat Tere membuat Khaw terkekeh. "Visi misinya udah nggak lagi sama. Ale maunya ke mana, aku maunya ke mana. Udah. Bubar. Tapi, ya, nggak semudah itu juga. You know, five years." Khaw mengedikkan bahu.

Meluncurlah kisah tentang Oma yang memaksanya menenangkan diri di Bali. Khaw memang melarikan rasa sakitnya dalam pekerjaan. Dia menjadikan dirinya sibuk sehingga tak ada ruang untuk mengenang Ale dan kebersamaan mereka. Apa saja Khaw lakukan sekalipun hasilnya tidak sempurna. Oma bilang, dia sudah seperti mayat hidup saat itu.

"Jadi, kita ketemu di Bali, di vila Papimu ...."

"Iya." Khaw tersenyum tipis. "We're the same people. Two heartbroken people."

Tere mengatup mulut dengan telapak tangan. Ada kala di mana dia begitu penasaran mengapa Khawidra Tirtadjaya berada di Bali pada pekan terakhir di bulan Agustus. Tere ingat dia dan Kara membicarakannya. Mereka menerka-nerka. Diam-diam mencari tahu. Tidak ada yang bisa menjawab. Sampai kemudian Tere terlupa keinginannya untuk mengetahui.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang