[28] cinta yang bersembunyi

3.5K 302 240
                                    

PAGI kedua Khaw terbangun di kamar yang bukan kamarnya.

Kamar Tere berlantai parket. Dindingnya didominasi warna semerdanta—dengan aksen cokelat kayu di beberapa bagian. Langit-langitnya tinggi berwarna putih bersih. Built-in cupboard di sisi kanan ranjang; difungsikan sebagai lemari pakaian sekaligus lemari pajangan tas. Meja kerja dan kursi menghadap ke jendela kaca. Di sisi lain meja rias dengan cermin besar dan lampu sorot tampak dipenuhi bermacam kosmetik.

Bidadari cantik itu berada dalam pelukannya. Tali tipis gaun tidur lavendernya melorot. Khaw mengecup pundak terbuka Tere. Dari banyaknya pagi yang Khaw lalui tanpa perempuan itu, Khaw tak menyangka dapat kembali ke titik ini.

"Hnggh. Jam berapa?" Tere menggeliat. Suaranya serak khas bangun tidur.

"Sebentar." Khaw mengurai rengkuhannya. Tangannya menggapai ponsel di nakas. "Masih jam enam," kata Khaw lagi.

"Kamu pergi ke kantor jam berapa?"

"Nggak."

"Hmm?"

"Nggak pergi ke kantor."

Dalam pelukan Khaw, Tere menegang. Dia tidak mungkin salah ingat. Benar memang hari ini masihlah hari kerja. Saat dia ingin membebaskan diri dari belitan Khaw, Khaw justru mempererat. "Khaw ...." Tere melenguh. Bisa-bisanya Khaw malah mengecup basah sisi leher nyaris mendekati cuping telinganya.

"Begini dulu aja." Khaw menyimpan helaian surai panjang Tere ke balik telinga.

"Kenapa nggak ngantor? Kamu nggak lagi sakit, kan?" Karena kalau memang iya, Tere tak keberatan merawat gadis itu. Dia juga akan izin untuk tidak datang ke butik hari ini. "Khawidra ...."

Khaw terkikik. Lucu sendiri mendengar Tere merapalkan nama lengkapnya. "I'm good. Cuma pengin seharian sama Kak Tere di rumah."

Tere tidak tahan lagi. Betapa pun nyamannya dipeluk dari belakang, dia lebih mau menatap wajah sang pelaku. Mereka saling berhadapan. Tere tersenyum lembut sebelum menyusupkan wajahnya di ceruk leher Khaw. "I miss you too."

Buat Tere kalimat Khaw tak ada bedanya dengan pengakuan rindu. Khaw tersenyum-senyum saja. Tere tidak salah. Khaw bahkan meyakini dia lebih merindukan perempuan satu itu lebih dari siapa pun. Mungkin lebih daripada Tere yang merindukannya. Khaw hanya tak tahu mengapa dia belum jua mampu melisankan perasaan sesak yang mengungkung dadanya.

"Hon ...."

"Ya, Kak Tere?"

Tere cemberut. Dia mau 'Sunshine', bukan 'Kak Tere'. "Ada sesuatu yang mau kamu bilang?"

Khaw mencureng. Dia hanya tidak tahu Tere sedang merujuk ke pesan terakhirnya. Love you. Sungguhkah yang Khaw maksud? Benarkah Khaw mencintainya? Mengapa sejak mereka bertemu semalam Khaw sama sekali tak menyinggung? Khaw bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Seolah dia tak pernah mengungkapkan perasaannya.

"Apa?" Khaw berpikir. "Nggak ada."

Tere menahan dengkusan. Dia memainkan kancing piyama hitam yang Khaw kenakan demi mengalihkan atensinya. Tere bisa saja mendesak Khaw, tetapi pertanyaannya, apakah dia siap? Andai kata Khaw mengembalikan pernyataannya, apa yang Tere mau? Hubungan seperti apa yang bisa dia tawarkan pada adik sang sahabat yang berhasil membuatnya kelimpungan selama mereka menjeda dan tak saling bisa menggapai?

"Masih pagi. Nggak usah mikir yang berat-berat dulu." Khaw menjentik kening Tere.

"Ish, nyebelin!" Bibir Tere manyun, yang dianggap Khaw sebagai undangan untuk mengecupnya.

Perjumpaan bibir mereka berawal dari ciuman-ciuman kecil, lalu berubah menjadi lumatan. Tidak lagi berbaring di bantal masing-masing, Khaw beralih mengimpit tubuh sintal Tere. Selagi dia menyesap bibir tebal sang perempuan, tangan Khaw mengabsen di mana-mana. Khaw meremas pinggul Tere. Sesaat kemudian keduanya berganti posisi. Giliran Tere yang berada di atas.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang