[43] patahnya kepercayaan

2.1K 259 169
                                    

"OMA!"

Seumur-umur Khaw tak pernah bicara dengan nada tinggi pada Oma. Kali ini Oma sudah keterlaluan. Jelas-jelas Oma tahu Khaw memilih Tere. Khaw mencintai Tere. Kini Khaw mengerti mengapa Sabtu pagi-pagi sekali Aji Hanenda, yang notabene anak Jakarta, ada di Bukit Darmo. Pendekatan, huh?

Mereka tidak mengobrol banyak. Hanya di sela sarapan dan sebelum Khaw terburu-buru menuju area parkir. Khaw tidak menaruh curiga. Aji bersikap kasual. Bahkan seolah pertemuan mereka merupakan ketidaksengajaan.

Padma mengibaskan tangan pada Martha yang merapat. Dia bisa menangani cucunya. "Oma bisa saja melakukan sesuatu ke Ale. Tapi, nggak ada yang menjamin Ale akan tutup mulut. Dia figur publik. Apa pun yang keluar dari mulutnya dengan mudah dipercayai dan mendapat dukungan."

Khaw menegakkan punggung dari sandaran kursi. Setelah Aji, sekarang Ale?

"Khaw ingat Oma pernah tanya strategi apa yang bakal kamu lakukan untuk menghadapi Kara, Papi, dan Mamimu?" Oma berkata lagi. Khaw mengangguk, lalu menggeleng. Dia masih sama. Tak memiliki persiapan. "Aji adalah peluru terkuat yang kita punya. Solusi terbaik."

Khaw terdiam, berpikir. Dia tidak pernah menyangka pemuda yang baru dia kenal beberapa waktu lalu akan terhubung dengannya dan masa lalu juga masa depannya melalui cara seperti ini.

"Jangan meremehkan Ale Adams, Khaw. Oma tahu kamu tahu Ale nggak pernah main-main." Kalimat Oma menghantam Khaw kian hebat. Sakit di kepalanya semakin menjadi. "Kamu sayang Tere, kan?"

"Oma ...."

"Menerima Aji bisa melindungi Tere dan nama baik keluarga kita," tegas Oma. "Khaw pasti nggak mau Ale tiba-tiba datang ke rumah Tirtadjaya dan mengungkap semua di depan Kara. Iya? Hubungan kalian juga Kara dan Tere menjadi taruhannya."

Khaw mengesah. "Tere nggak mungkin setuju, Oma." Khaw ingat betapa Tere mencemburui Aji. Mengetahui Khaw ke Jakarta dan menebak diam-diam Khaw bertemu Aji Hanenda saja membuatnya murka, apalagi menerima fakta Khaw bersama Aji.

"Tere urusanmu. Pikirkan cara meyakinkan dia. Dan, Aji, biar jadi urusan Oma."

Nada final dalam kalimat Oma membuat Khaw tak berkutik. Gadis itu melempar pandang ke arah lain. Tangannya terlipat di meja. Telunjuknya menekuk, mengetuk-ngetuk permukaan. Deretan skenario berkelibat di kepala Khaw. Satu per satu. Kesemuanya memampangkan wajah cantik sang kekasih. Tere-nya ada di mana-mana.

"Berapa lama, Oma?"

"Ya?"

"Saya dan Aji."

"Hmm ..., sampai Ale yakin bukan Tere orangnya."

Khaw menunduk dalam-dalam. Dia terimpit di antara pilihan yang sama-sama sulit.

"Alexandria Adams bukan orang sembarangan, Khaw. Kita tahu itu."



Tere tersenyum lembut. Khaw berada di antara kedua pahanya. Dagunya mengait di pundak dan lengannya membelit posesif pinggang Tere. Hampir tiga menit mereka bertahan dalam posisi itu.

Saat Khaw pulang Tere sedang memasak. Tahu-tahu gadis itu menghampirinya, mematikan kompor, dan membimbing Tere ke meja bar. Tidak ada kata-kata. Tere demikian. Dia hanya mengusap punggung kekasihnya—sesekali beralih ke kepala belakang. Tere selalu begitu. Selalu penuh pengertian.

"Udah siap buat cerita?"

Khaw mengerjap. Pertanyaan itu meluncur sesudah dekapan mereka mengendur.

"Aku tadi ketemu Oma," mulai Khaw. Tere memiringkan kepala. Khaw sudah memberi tahu. Dia berpamitan dengan alasan yang sama. "Oma minta aku untuk ...." Tidak bisa. Khaw tidak sanggup mengatakannya.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang