[13] let's go and do it

3.8K 293 250
                                    

SINAR matahari dan Tere seperti bersepakat untuk bertemu di satu titik. Larik cahaya menyorot tepat di wajahnya, membuatnya berkilau sendirian di tengah ruangan yang sunyi. Entah kapan persisnya Tere datang, duduk manis di ranjang Khaw dengan punggung bersandar nyaman. Pemandangan itu membuat napas Khaw tersekat sesaat.

Tere yang menyadari kehadiran seseorang, mendongakkan wajahnya dari layar ponsel. Dia menemukan Khaw berdiri dengan sebelah tangan terangkat mengusap rambutnya yang basah. Tere tersenyum. "Come here."

Seperti tersihir Khaw menjatuhkan handuk di tangannya begitu saja. Khaw merangkak naik dari kaki ranjang, melewati tungkai jenjang milik Tere, dan berhenti setelah mata keduanya beradu. "Hi," bisik Khaw.

"Hei." Tere menggapai wajah gadis muda itu. Ketika Khaw memiringkan kepala, Tere menyambutnya dengan bibir merekah dan mata memejam. Ciuman Khaw begitu lembut. Tere terbuai.

Khaw mengekeh tanpa suara. Pertemuan bibir mereka telah usai, tetapi Tere tampak masih menikmati. Iseng, Khaw meniup bibir Tere dan membuat sang pemilik membelalak. "Kalau pengin lagi, tinggal bilang."

"Ish, nyebelin!" Pinggang Khaw menjadi sasaran empuk bagi cubitan pedas Tere. "Nggak boleh ngegodain orang tua."

"Godain nggak boleh. Cium-cium, boleh, dong?"

Pipi Tere bersemu. Sialan. Bisa-bisanya dia seperti ini hanya karena ucapan dari seseorang berusia tujuh tahun di bawahnya. Tere telah memulai perjalanan lebih dulu, semestinya hal receh begini tak membuat hatinya merekah. Paling tidak Khaw harus berusaha lebih keras untuk meraihnya. Kenyataannya Tere malah terhipnotis—lagi—dengan ciuman gadis itu.

Tubuh Tere melorot, jatuh sepenuhnya ke tempat tidur. Bibir mungil itu bergerak ke mana-mana. Bukan hanya menjamah bibir Tere, tetapi juga menuju rahang, dagu, dan leher. Khaw tahu caranya mengatur ritme—kapan kembali berciuman dan kapan memberi jeda untuk bernapas. Tere bersyukur mereka melakukannya dalam keadaan berbaring.

"Kak Tere?"

"Mmm?"

"Kak Tere cantik."

Tere tertawa. Khaw masih berada di atasnya. Mata Khaw tak bisa berbohong. Gadis itu berucap dan melibatkan perasaannya. "Kamu udah bilang itu tadi," sahut Tere sembari menyugar rambut basah Khaw dengan kedua tangannya.

"Maybe I'll say it in many times."

"Thank you for reminding. Seenggaknya aku bisa menghalau untuk nggak baper banget."

Khaw menelengkan kepala. Gelaknya pecah. Andai saja Tere tahu, memang itu tujuannya. Khaw mau Tere terikat padanya. Perlahan-lahan sampai Tere tak bisa lepas. Khaw berguling dan menjatuhkan tubuhnya di sebelah Tere. "Jam berapa sekarang?"

"Sebelas lewat. Keluar, yuk."

"Mau ke mana?"

Tere mengubah posisi rebahannya, mencondong ke arah Khaw, dengan tangan menopang sisi kepala. "Ke mana aja. Terserah. Lunch, jalan-jalan. Bosan, nih, di vila mulu."

Khaw merapat. Tangan Khaw melingkari pinggang Tere sementara hidung dan bibirnya menyasar kulit leher sang perempuan. Kalau saja Tere bertanya, Khaw lebih tertarik untuk tetap di vila. Menikmati keintiman mereka jauh lebih menggugah seleranya. Lagian, zaman sudah canggih. Untuk sekadar makan siang, mereka bisa memesannya melalui aplikasi.

"Kamu kayaknya nggak sepakat." Tere menggigit bibir ketika Khaw menanamkan kecupan basah nan dalam dan melepaskan tanpa aba-aba.

Khaw nyengir tanpa rasa bersalah. "Your wish is my command, My Lady." Dia tersenyum manis. "Butuh waktu berapa lama untuk siap-siap? Dandan dan lain-lain?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang