[38] maybe not now

2.9K 261 176
                                    

TIDAK ada matahari pertama di awal tahun.

Surabaya dinaungi awan kusam bergerombol. Gerimis kecil bersulih menjadi titik-titik air yang deras menampar kaca jendela dan menghunjam apa pun di bawah sana. Di tempat tidur tampak dua anak manusia saling memeluk dan menghangatkan. Mereka baru terlelap lewat dini hari. Pendakian menuju puncak menyisakan tubuh telanjang dan baju bertebaran di lantai.

Hhngh. Si perempuan berambut panjang melenguh. Setengah sadar dia membaui sekitar. Resi ini adalah wewangian favoritnya. Segarnya bunga mawar, manis dan hangatnya kayu amber, berpadu dengan aroma tubuh sang kekasih.

Khaw menahan geli. Tere menyasar ceruk lehernya. Perempuan itu tak berhenti menggesekkan puncak hidung bangirnya. Khaw mengeratkan pelukan di balik selimut dan menarik pacar cantiknya merapat padanya. Rasanya Khaw seperti hancur sebadan-badan, tetapi senyum di bibirnya tak bisa berbohong. Khaw lebih dari sekadar bahagia.

"Khaw ...."

"Good morning, Sunshine," sapa Khaw kelewat ceria.

Tere mengerjap, membelalak, dan mendorong Khaw menjauh. "Kok aku di sini?"

Huh? Detik itu kesempurnaan pagi Khaw luluh lantak. Dia terjun bebas bersama Tere yang melompat dengan tergesa-gesa, kemudian berlari ke kamar mandi. Khaw menggaruk kepalanya yang tak gatal. Setelah meloloskan kaus gombroh dan celana dalam, Khaw menyusul Tere. Kekasihnya menunduk dalam-dalam di hadapan wastafel.

"Hi, Sunshine." Khaw mengusap bahu Tere. "What's going on?"

"Tadi malam ... aku ...."

"Kamu di sini, bareng aku." Khaw seakan bisa membaca isi kepala Tere. "Ada apa?"

Tere mengesah panjang. "Kara pasti cari aku."

Oh, itu! Khaw menjelma tenang. Dia memeluk Tere dan menciumi kepala belakangnya. "Belum genap pukul tujuh. Kak Kara pasti belum bangun. Semalam dia mabuk parah. So, I guess, you'll be okay."

Ketegangan Tere mengendur. Tangannya yang terkulai kini terangkat menangkup lengan Khaw yang membelit pinggangnya. Tere balas memandang. Dua pasang mata bertemu di cermin. Dia tidak mengelak ketika Khaw mengecup pipinya. Namun, Tere harus menegah saat bibir Khaw menuju pundak dan tengkuknya. "Masih pagi, Sayang."

"I know." Khaw menolak untuk peduli.

"Uh!" Punggung Tere melenting dalam. "Khaw, udah. Aku ke Bunda sekarang, sebelum dicariin."

Sang gadis muda mundur selangkah. Dia dan Tere berdiri berhadap-hadapan. Senyum manis Khaw terulas beriringan jemarinya menyelipkan helaian rambut Tere ke balik telinga. "Makasih, ya, buat semalam."

Tere tidak menanggapi. Dia hanya menatap Khaw dengan air muka tak mengerti.

Satu detik, dua detik .... Entah mengapa Khaw memiliki firasat buruk.



I love you.

Tiga kata. Satu makna. Pernyataan cinta, apa lagi?

Tere tidak lupa. Dia masih mengingat detailnya dengan amat jelas. Kalau Khaw mengira dia mabuk berat, salah. Soju tidak semudah itu merenggut kesadarannya. Namun, pukul sepuluh di pagi ini, di ruang makan keluarga Tirtadjaya, Tere berlagak demikian. Dia hanya belum mengerti bagaimana harus bersikap setelah mengutarakan isi hatinya pada saat yang tak seharusnya.

Katakan saja, Tere terbawa suasana.

Sorot mata Khaw yang memujanya membuat Tere tak kuasa. Dia sama sekali tak berencana. Hubungan mereka baru beberapa bulan. Kalaupun dia mengaku cinta, sudah pasti bukan tadi malam. Tere menggigit bibir. Gelisah sendiri. Terlalu larut sampai-sampai Tere tak mendengar bunyi langkah kaki yang kemudian disusul tepukan di pundak kanannya.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang