[14] i'm so into you

2.8K 304 108
                                    

"DIA jelas-jelas naksir kamu, tuh."

"Siapa?"

Tere cuma melirik. Khaw sudah duduk di belakang kemudi. Tangannya dengan ahli memutar setir, membawa mereka menjauh dari bangunan pekat berjendela kaca. Jemari lentik itu mulai mengetuk-ngetuk. "Seriusan nggak ngeh atau pura-pura enggak?"

Khaw mencureng. Sebelah alisnya mencuat di bingkai atas kacamata oranyenya.

"Tsk. Emily."

"Oh."

Tere menunggu lagi. Sama seperti sebelumnya, Khaw malah asyik bersenandung. Samar-samar dari radio digital Tere menangkap lagu lawas milik Sheila On 7. "Kok kayak nggak excited gitu, sih, Khaw?"

"Nggak penting aja, Kak."

"Ada cewek naksir kamu dan itu nggak penting?" Tere menyentuh ujung bahu Khaw. Tubuh perempuan itu condong, mengintip ke profil wajah gadis di sebelahnya. "Khaw ...."

Khaw menggeleng-geleng. Dia terkekeh. Khaw menangkap tangan Tere dan membawanya ke pangkuannya. Ketenangannya masih jua tak terusik. "Mau berharap apa, Kak Tere? After what we did saya nggak yakin Emily masih naksir saya." Di akhir kalimatnya bibir Khaw bergetar menahan tawa.

"Yah, kamu juga, sih. Kenapa coba aktingnya kayak kita beneran couple?"

Audi Q8 itu berhenti di persimpangan. Lampu lalu lintas menyala merah. Khaw mengaktifkan rem tangan, lalu menaruh atensi sepenuhnya pada titisan bidadari di sebelahnya. "Jadi ceritanya saya dikasih izin buat jalan sama yang lain selama kita bareng?"

"Enggak!"

Sahutan Tere yang kelewat cepat malah memancing tawa keras di antara mereka. "Terus kenapa dari tadi heboh banget soal Emily?" Pertanyaan Khaw ringan, tetapi berhasil membuat Tere kian gelisah. Tere menggigit bibir bawah dan membuang wajah. "Emily bukan tipe saya, Sunshine. Nothing to worry about."

"Aku—nggak!"

Khaw mengekeh renyah. "Iya juga nggak papa."

"Nggak, ya, Khaw," tegas Tere.

Tidak ada sahutan, Khaw asyik mengemudi. Diam-diam, Khaw merasakan hatinya membuncah. Tere boleh saja mengelak, tetapi respons perempuan itu bicara lebih banyak. Tere persis seperti kekasih yang sedang cemburu. Namun, Khaw buru-buru menepis. Belum saatnya untuk berharap lebih. "Iyaaa, nggak. Udah, ya. Jangan cemberut."

"Ish, nuduh lagi. Nih, lihat, aku senyum. Niiih." Bibir tebal Tere melengkung lembut menyerupai bulan sabit. Tingkahnya sempat membuat Khaw hilang fokus. Itu sesaat sebelum Khaw mencubit gemas sebelah pipi Tere. "Dicubit, sih, Khaw ...."

"Hehehehe. Abisan lucu."

Kalimat Khaw begitu apa adanya. Anehnya pernyataan itu berhasil mengundang semburat merah jambu di pipi Tere. Tere semakin tak mengerti dengan reaksi tubuhnya. Adik dari sahabatnya lagi-lagi berhasil membawanya mengendarai mesin waktu. Tere seperti kembali ke masa remaja. Tere terlupa bahwa sesungguhnya dia perempuan dewasa di awal tiga puluhan.

"Mau langsung pulang atau ...?" Dengan sengaja Khaw menggantung pertanyaannya.

"Ke Finns dulu, yuk."

Arloji berbahan kayu artisanal di pergelangan tangan kiri Khaw belum genap menyentuh pukul empat. Khaw menimbang-nimbang. Dia menyalakan lampu sein kiri dan membawa mobilnya menepi ke bahu jalan. Tanpa menengok ke arah Tere yang bertanya-tanya, Khaw meraih ponselnya. Dia terlibat pembicaraan dengan seseorang. Khaw meminta siapa pun di seberang sana untuk mereservasi daybed di tepi pantai dengan pemandangan terbaik.

"Kadang-kadang aku masih belum terbiasa dengan cara kerjanya Tirtadjaya," komentar Tere.

"Cuma buat jaga-jaga," sahut Khaw tenang. "Dari sini ke Finns bisa makan waktu satu jam. Saya cuma nggak mau sampai di sana kita kecewa karena fully booked."

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang