[47] where are you, fōrtuna?

1.6K 231 116
                                    

PAGI itu Khaw terencat tak jauh dari gerbang mansion. Kekasihnya dan pemuda yang dijodohkan dengannya duduk bersama di ruang makan terbuka. Shit! Khaw belum sempat bersembunyi ketika keduanya menangkap keberadaannya.

Aji melambai penuh semangat. Senyum semringahnya memampangkan gigi gingsulnya. "Khaw! Hai."

Si pemilik nama tidak memiliki pilihan selain mengentas jarak. Khaw melirik Tere. Berkebalikan dengan lelaki yang tampak terlalu rapi pada pukul setengah delapan pagi, Tere sama sekali tak menunjukkan minat. Asyik saja dia menyantap sarapan sembari menggulirkan telunjuk di layar ponsel.

"Habis pergi joging?"

"Mmm." Basa-basi. Pakaian Khaw adalah jawaban. Tak perlu lagi dipertanyakan.

"Kok nggak ajak-ajak? Gue, kan, bisa nemenin."

Khaw tertawa kering. Dia menarik kursi di sebelah Tere dan melempar senyum kecil pada perempuannya. Tere menyahut dengan air muka terlalu santai. Khaw yakin tak ada satu orang pun yang akan mencurigai hubungan mereka. Buktinya Aji tak terpengaruh. Laki-laki berkaus polo itu malah menawarkan kopi.

"Euh, no need, Ji. Saya nggak ngopi."

"Oh?" Langkah Aji berhenti di tengah ruangan. Dia nyaris tiba di buffet minuman.

"Tehnya." Tere mendorong cangkir di depannya. Tere memang mengambil dua minuman berbeda. Teh dan kopi. Sejak awal satu di antaranya khusus disediakan untuk gadis di sebelahnya.

"Thank you, Kak Tere."

Alih-alih menempati kursi yang sama Aji malah berpindah ke kursi di sebelahnya. Praktis dia dan Khaw duduk berhadapan. Baik Khaw maupun Tere mengerling diam-diam. Namun, Aji tidak peduli. Pemuda itu meneruskan makan tanpa melepaskan mata dari gadis di depannya. Suatu keberuntungan bagi Aji bisa melihat Khaw dalam berbagai versi.

"Nggak sarapan, Khaw?"

"Ya?" Halusnya suara Tere menggugah Khaw dari lamunan. Kalau saja tak ada orang lain di antara mereka, yang Khaw mau adalah memampatkan Tere ke sudut ruangan. Atau, kalau itu terlalu mustahil, Tere yang duduk di meja makan juga tak kalah menggiurkan. Okay, stop it, Khaw. "Buat saya?"

"Iya. Ada yang kurang?"

Khaw tersenyum. Bukan pada Tere, tetapi pada american breakfast-nya. Tere terlalu mengenalnya untuk menyiapkan tanpa perlu memastikan. "Thanks—umh, Kak Tere." Dia juga tidak mesti bertanya, kan? Sudah jelas orang yang melakukannya adalah perempuan cantik di sisinya.

"Sama-sama." Keduanya menikmati sarapan ditemani keheningan dan sejuknya udara Bali bagian selatan.

Aji, sang pemuda Jakarta, kian terkesima dengan adab yang Khaw miliki. Sedikitnya Aji mengetahui di mana Khaw mengenyam pendidikan. Kehidupan yang sebagian besar dihabiskan di dunia barat tak menghilangkan sisi ketimurannya. Aji percaya dia tidak akan menemukan pasangan hidup serupa andai melewatkan seorang Khawidra Tirtadjaya.

"Sejak kapan suka joging, Khaw?"

"Umh," Khaw bahkan tak mengingatnya, "high school." Lebih baik terdengar yakin.

"Wow, cool."

Pikir Khaw tidak ada yang spesial. Hampir semua orang memiliki kebiasaan seperti yang dia lakukan. Orang-orang yang memedulikan kesehatan pasti akan meluangkan waktu di tengah kesibukan sekalipun. Apalagi dampak yang didapat usai berolahraga. Kebutuhan dalam stress release. Bagi Khaw lari di pagi hari adalah bagian dari keseimbangan hidup.

"Khaw, Ji, saya duluan, ya," Tere menyela obrolan.

Khaw kira kekasihnya terusik. Namun, rupanya piringnya telah tandas. Kopi di cangkirnya juga sudah habis. "Kak Tere mau langsung ke kamar?" Tere mengangguk dan Khaw meneruskan, "Ada barang saya yang ketinggalan di Kak Tere. Boleh sekalian saya ambil?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang