[31] can i call you mine?

3.9K 307 246
                                    

IT'S a perfect plan until reality kills you.

Dua hari setelah obrolan di dapur apartemen, Khaw dan Oyis duduk berhadapan. Meja kerja di antara mereka dingin, sedingin rencana-rencana Khaw yang dipatahkan sang tangan kanan. Oyis menyelia agenda Khaw. Tidak ada sela. Satu-satunya yang paling memungkinkan adalah hari Sabtu.

"Ya, nggak mungkin, dong, Yis. Penerbangan sendiri aja lebih dari dua puluh jam!"

Oyis menunduk. Wajah masam Khaw jelas tak ingin mendengar bantahan. Namun, mau bagaimana lagi? Keadaan BSD saat ini tidak memungkinkan perempuan itu bepergian lebih dari dua hari.

Khaw menjatuhkan punggung ke sandaran kursi putarnya. Sewaktu dia bilang akan menciptakan momen manis agar dapat selalu Tere kenang bersama senyum di wajah cantiknya, isi kepala Khaw dipenuhi taman bunga matahari sebagai latar. Tere Soemarjo adalah cinta sepuluh tahunnya. Bagaimana mungkin Khaw hanya melakukan hal sederhana?

Nope, tidak akan Khaw izinkan itu terjadi dalam kamus hidupnya.

"Bubos, maaf, jadwal Bubos penuh sampai akhir tahun," Oyis mencicit.

Darn! Khaw menyugar rambutnya. Kesal. Dia tak mungkin menunggu selama itu. Baru dua hari saja dia nyaris gila tak bisa menyentuh Tere-nya. "Yis ...." Khaw menatap Oyis. Daripada marah, Khaw lebih terlihat seperti memohon. Sayangnya, dia dan Oyis sama-sama tahu tak ada yang bisa mereka lakukan.

Dering ponsel di meja mengalihkan perhatian. Khaw buru-buru menggapai. Sekarang ponsel pribadinya adalah barang yang tak boleh jauh darinya. Jika sebelumnya benda satu itu lebih kerap senyap, terkecuali saat Martha menghubungi atas perintah Oma, saat ini ada nama lain yang juga turut meramaikan dan mendatangkan debar.

"Hon ...."

"Yes, Sunshine."

Sembunyi-sembunyi, Oyis memutar mata. Bosnya benar-benar bucin tingkat akut. Hilang sudah semua ketegasan, berganti dengan kelembutan yang tak pernah Oyis jumpai. Khaw memang berbicara halus pada Oma, tetapi pada Tere juga diselimuti rasa penuh cinta dan mendamba.

"Kamu udah makan, Hon?"

"Belum. Lagi nunggu makanannya datang. Kak Tere udah di butik?"

"Udah. Baru banget sampai."

"Kirain tadi sekalian pergi makan siang."

"Take away. Makannya di ruangan aja."

Khaw tersenyum. Dia memejamkan mata. Khaw membayangkan Tere di ujung panggilan. Betapa cantiknya perempuan itu. "Pulang nanti saya jemput, ya. Janji rapatnya nggak bakal sampai malam."

"Aku, kan, bawa mobil. Langsung ketemu di apartemen kamu aja."

"Saya jemput, Sunshine." Kalau sudah begini sebaiknya Tere tidak mendebat. Khaw jarang menegaskan. "Ya, udah, makan, gih. Sampai ketemu nanti sore. Bye, Sunshine."

"Bye, Hon."

Sambungan telepon berakhir, tetapi Khaw masih betah memandangi layar ponselnya. Foto profil Tere memampang di sana. Tere berdiri di tepi pantai, mengenakan gaun hitam bertali satu dengan rambut panjang kecokelatan yang terurai dan digayut angin. Cantik, batin Khaw. You will be mine soon, Sunshine.

Oyis berdeham. Membuyarkan Khaw dari lamunannya. "Bubos." Perempuan itu nyengir saat dihujani tatapan malas dari sang atasan. "Saya punya satu opsi. Mungkin bisa jadi bahan pertimbangan."

"Alright, tell me."

"Bubos masih tertarik sama vila di Uluwatu?"

"Yang nggak jauh dari vilanya Papi?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang