[19] persimpangan arah

2K 275 121
                                    

TIAP orang memiliki caranya masing-masing untuk bangkit dari keterpurukan. Khaw juga sama.

Pagi-pagi sekali gadis itu meninggalkan apartemen. Belum ada berkas cahaya apa pun di langit. Ketika fajar menyingsing, jalanan mulai ramai, Khaw sudah berada di belokan terakhir. Khaw memeriksa Apple Watch-nya. Lima belas menit lalu Oyis mengirimkan daftar agendanya melalui surel. Begitu pun dengan Agus, pemuda itu mengabari dia sudah dalam perjalanan menjemput Khaw.

"Gus?" Melalui AirPods yang terkoneksi ke smartwatch dan ponselnya, Khaw menghubungi Agus. "Saya masih joging. Udah dekat apartemen?"

"Udah mau masuk Jalan Sulawesi, Bu."

"Saya perlu mandi dan siap-siap. Tiga puluh menit lagi tunggu saya di lobi?"

"Baik, Bubos. Saya izin sarapan dulu."

"Sip. Di bubur biasa?" Beberapa waktu lalu Agus dengan semangatnya memberi tahu dia menemukan bubur Bandung terenak yang rasanya mirip dengan di kampung halamannya. Warung tersebut berada tak jauh dari apartemen Khaw. "Thanks, Gus. Saya sarapan roti aja," tolak Khaw pada tawaran Agus.

Setelah sambungan telepon berakhir, Khaw meneruskan lari paginya. Sejak dulu aktivitas satu itu sudah menjadi rutinitasnya. Khaw selalu merasa lebih siap menjalani hari jika memulainya dengan berolahraga. Dia akan lebih segar dan bertenaga. Namun, rasa-rasanya baru kali ini lari merupakan jalan pintas.

Jalan pintas untuk melupakan cinta pertamanya yang harus dilepaskan bahkan sebelum tersampaikan.



"Re! Tere ...."

Tere sedang memperbaiki kucir rambutnya ketika seorang pemuda berlari kecil mengejarnya. Keduanya sama-sama mengenakan setelan olahraga. Bukannya Tere tak menyadari keberadaannya, Tere tahu Yasser Alatas, laki-laki berperawakan tinggi dan atletis, berdarah Arab-Tionghoa-Belanda, sejak tadi memperhatikannya. Tere hanya sedang tak berminat berbasa-basi.

"Oh, hai, Yas!" Kalau sudah terjebak, tak ada pilihan selain bersikap ramah.

"Buru-buru banget."

"Iya, nih. Mau siap-siap ke butik."

Yasser mengangguk. Keluar dari Club House, menyeberangi area parkir, seharusnya Yasser dan Tere berpisah arah. Unit rumah Yasser berada di Blok D. Namun, lelaki itu malah mengiringi langkah Tere. "Lama nggak kelihatan, Re. Ke mana aja?"

"Liburan."

"Oh, ke mana?"

"Bali."

"Wah, seru, dong!" Yasser begitu bersemangat. Berbanding terbalik dengan Tere yang tampak lesu. "Aku beberapa kali cari kamu di tempat gym. Tanya ke petugasnya, katanya ada kali dua pekan kamu nggak mampir."

Tere cuma meringis. Dia sama sekali tak tahu harus menanggapi bagaimana. Sebenarnya ini bukan kali pertama Yasser mendekatinya. Sejak pindah ke Greenland Residence dan mereka secara resmi berkenalan di Club House, Yasser dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan. Pemuda itu pelan-pelan mengambil langkah mundur setelah tahu Tere memiliki kekasih. Entah apa yang akan Yasser lakukan andai status hubungan terkini Tere sampai ke telinganya.

"Aku ada janji di TP pagi ini. Mau berangkat bareng?"

"Umh, bakal repot nggak, sih? Entar pulangnya—"

"Pulangnya aku bisa, kok, jemput kamu lagi."

Lagi-lagi Tere mengulas senyum kering. Ajakan Yasser jelas terkesan dipaksakan. "Aku banyak aktivitas, deh, hari ini. Repot banget mau mobilitas kalau nggak bawa kendaraan." Sebelum Yasser sempat berkata-kata dan memojokkan Tere lebih jauh, cepat-cepat Tere menambahkan, "Duluan, Yas. See you!"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang