[7] berlari dan berhenti

2K 295 135
                                    

TERE keluar kamar dan menemukan Khaw duduk di sofa dengan punggung merunduk. Gadis itu tak menyadari kehadirannya. Khaw sibuk mengikat tali sepatunya. Andai saja kemarin mereka tak sepakat, hari ini Tere lebih ingin hanya berdiam diri di kamar.

Khaw mendongak. Tatapan mereka bertumbukan. Khaw sadar dia yang lebih dulu menyunggingkan senyuman. "Morning," sapanya.

Jawaban Tere tidak terdengar jelas. Tipis dan langsung dibawa angin. Sudut-sudut bibirnya yang terangkat pun tak sampai ke mata. Tere menelan ludah, lalu merapat ke tempat Khaw berdiri. "Mau jalan sekarang?"

Khaw menggeleng. "Kak Tere sarapan dulu. Udah saya siapin di meja."

Tere bimbang untuk bergerak. Mereka memang baru empat hari bersama, tetapi menyiapkan sarapan adalah jatah Tere. Tanpa banyak kata perempuan itu bertolak menuju meja makan. Cheese french toast sudah menantinya. Tere mencelupkan ke maple syrup sebelum menyuapkan ke mulut. "Khaw udah sarapan?"

"Udah. Minum susu tadi." Jawaban Khaw dibalas sebelah alis yang mencuat. "Saya nggak biasa sarapan berat sebelum joging, Kak," terang Khaw lebih lanjut.

Dia lalu pamit untuk menunggu di luar. Khaw bilang ada yang ingin dia bicarakan dengan Ketut. Padahal itu hanya usahanya menjarak sementara dari Tere. Demi apa pun Khaw bersyukur Tere tidak mengenakan setelan lilac-nya. Pilihan kanan yang Khaw pikir aman nyatanya berhasil merenggut segenap napasnya. Tere dengan wajah polos tanpa riasan dan rambut terkucir satu tetap saja mampu mengguncang dunia internal Khaw.

Hanya butuh waktu singkat bagi Tere untuk menyusul Khaw. "Pagi, Pak Ketut," dia menyapa ramah. Sarapan dari Khaw berhasil mengisi energi yang sempat tercerap habis. Sepertinya bukan hanya Tere sendiri yang menyadari, Khaw juga. Gadis itu menatapnya dengan wajah bertanya. "Yuk, Khaw."

"Joging dulu, Pak."

Kedua perempuan itu berlari kecil bersisian. Masih ada cukup jarak, tetapi silir-semilir angin membekap dan mengunci aroma manis cokelat, lalu membawanya membuai cuping hidung Khaw. Khaw tersekat. Di antara usahanya menetralkan degup jantung yang berkejaran, sudah jelas bukan karena aktivitas mereka, Tere malah memperparah situasi.

"Thanks buat sarapannya, ya." Tere mendekat dan mengulas senyum cantiknya.

Khaw goyah. Dia tak bisa diperlakukan manis begini.

Kalau saja tak kenal malu, Khaw mau mereka menepi sejenak. Jika pun bisa Khaw menginginkan Tere berada dalam radius paling jauh darinya. Khaw memang belum memutuskan untuk maju menggapai atau menyerah dan melupakan Tere lagi; menganggapnya tak lebih dari sahabat sang kakak. Kenyataannya, belum apa-apa, dengan Tere yang terus ada di sekitarnya jelas bukan upaya yang mudah.

Tanpa aba-aba, Khaw mempercepat larinya.

"Khaw ..., tungguin, dong." Tere lekas menyusul.

Mereka kembali berdampingan. Dan, hening.



Selarik cahaya memudar dan berganti menjadi langit biru yang jernih. Jalanan mulai ramai. Kendaraan berlalu-lalang, anak-anak sekolahan, turis dan papan selancarnya, juga warga sekitar. Setiap kali berpapasan dengan orang lain, Khaw pasti berhenti sejenak, sekadar tersenyum dan menganggukkan kepala.

Di belakangnya, Tere mengulas senyum kecil. Sisi lain dari Khaw menghangatkan hatinya. Khaw yang ada di hadapannya ini adalah Khaw yang melepas seluruh atribut Tirtadjaya. Hanya Khaw. Tere yakin semua orang yang bertemu tatap dengan Khaw sama sekali tak menduga perempuan berwajah ayu itu adalah putri seorang konglomerat.

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang