[25] peek a boo

3.1K 337 200
                                    

SEPERTINYA Khaw mulai harus memikirkan ide Oma.

Dia tak bisa terus-menerus mengandalkan sereal dan makanan dihangatkan. Kebersihan sudah ada yang mengurus, datang dua kali dalam sepekan. Begitu pun dengan pakaian kotor yang diambil berkala setiap dua hari sekali untuk dibawa ke penatu. Tapi, memasak, Khaw pikir tak perlu-perlu amat mengingat dia nyaris menghabiskan satu hari penuh di kantor—terkecuali saat akhir pekan.

Khaw mengisi mangkuk dengan sereal, menuangkan susu segar, dan membawanya ke meja pantri sambil mengepit ponsel di antara telinga dan bahunya. "Hm." Tumben-tumbenan Kara meneleponnya, pada pukul tujuh pagi kalau mau lebih mengejutkan. "Ya, Kak."

"Belum ke kantor?"

"Masih di apartemen. Setengah jam lagi jalan."

"Hari ini kamu ke pabrik?"

"Belum tahu. Oyis belum kasih jadwal." Khaw merasa tak perlu bertanya balik.

"Aku mau minta tolong."

Nah, benar, kan. Khaw membiarkan ponselnya tergeletak di meja. Dia lanjut menyuap Froot Loops dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menggaruk lembut punggung kucing kelabu di pangkuannya. Tos sedang manja-manjanya. Mungkin karena belakangan Khaw terlalu sibuk. Tiba di rumah bawaannya ingin langsung beristirahat.

"Khaw?"

"Hmm."

"Tere pengin nengokin Ossy. Kalau kamu nggak ke pabrik, bisa, kan, jemput Tere di thenyou terus bareng ke rumah sakit?"

"Mobil Kak Tere masih di bengkel?"

"Masih. Bisa, kan?"

Memangnya Kara menerima penolakan? "Oke, Kak."

Lagian, Khaw merindukan Tere. Semalam, sepulangnya mengantar perempuan itu, mereka belum berkomunikasi lagi. Baik Khaw maupun Tere sama-sama tak mengirim pesan. Sekadar kabar telah sampai di apartemen pun tidak. Bukan karena tak mau, tapi lebih karena Khaw tak tahu harus bersikap bagaimana atas manuver Tere yang begitu tiba-tiba.

Khaw senang? Sudah pasti. Namun, di sisi lain Khaw juga cemas.

"Okay. Entar kamu aja yang kabarin Tere. Bye, Khaw." Klik.

Ya, Kak, terima kasih kembali. Khaw memutar bola mata. Kakaknya selalu begitu. Tahu-tahu menghubungi, tahu-tahu mengakhiri seenak dengkul. Syukurnya suasana hati Khaw sedang bagus-bagusnya. Gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Tak mengindahkan permintaan Kara, Khaw malah menikmati sarapannya dengan khusyuk.

Khaw tidak akan memberi tahu Tere.

Dia akan datang dan mengejutkan perempuan itu.



Bangunan tiga lantai di depannya menyita perhatian Khaw. Jiwa bisnisnya bergejolak. Seharusnya Tere memilih tempat yang lebih strategis. thenyou yang sekarang memang bagus, dekat dengan pusat perbelanjaan terpopuler kota ini, tetapi lahan parkirnya yang terbatas—hanya mengandalkan bahu jalan, membuat pengunjung berpikir dua kali untuk singgah, apalagi dalam keadaan ramai.

Khaw menyematkan kacamata hitamnya di kepala. Dia mendorong pintu kaca dan langsung disambut Alin. Perempuan muda yang awalnya tersenyum ramah, kemudian lantas mengumbar senyum lima jari usai menyadari seseorang yang datang di tengah teriknya langit Surabaya adalah Khawidra Tirtadjaya, adik dari sahabat sang owner thenyou.

"Hai, Mbak Khaw. Sendiri aja?"

Khaw mengabaikan harapan Alin untuk kehadiran Ale. "Hai, Alin. Bu Tere ada?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang