[34] ombak kecil pertama

2.9K 308 192
                                    

JEMARI lentik Tere melingkari gelas kertas kedai kopi berlogo makhluk mitologi dari Yunani bernama Siren selagi matanya tak melepas pandangan.

Kekasihnya benar, Tere sepertinya harus memikirkan usulan Khaw. Lantai tiga thenyou tak selamanya bisa diandalkan. Permintaan pasar yang terus melonjak, produksi yang kian meningkat, thenyou semestinya memiliki bangunan lain yang difungsikan sebagai warehouse.

Khaw memastikan dia bisa membantu mencari tempat baru—secepatnya. Terkait finansial pun bukan hal sulit. Tere menolak. Privilege dari Khaw terlampau berlebihan. Bukannya dia tak senang, Tere hanya tak mau membangun kesan dia memanfaatkan kekasihnya. Setidaknya Tere berusaha lebih dulu. Mengajukan pinjaman di bank atau apa pun. Khawidra Tirtadjaya biarlah menjadi opsi terakhir.

"Kalau kita lihat dari grafik penjualan di bulan November yang meningkat 18 persen dari bulan sebelumnya, saya optimis akhir tahun bisa lebih baik, Bu," salah seorang staf keuangan thenyou menerangkan. Dia membuntuti Tere yang berkeliling menginspeksi gudang produksi. "Persoalan kita hanyalah ruangan yang semakin terbatas."

Helaan napas Tere memberat. Bertambah lagi satu orang. "Memungkinkan nggak problem ini diatasi paling nggak sampai awal tahun? Cari tempat yang sesuai kebutuhan pasti nggak mudah."

"Akan kami coba kondisikan, Bu," sahut perwakilan tim produksi.

"First Love Collection gimana, Fir? Sudah oke?" Setiap produk baru selalu memiliki tema khusus. Mulai dari perpaduan warna yang selaras juga esensi kisah yang sampai ke hati konsumen. Tema satu ini direncanakan meluncur di hari kasih sayang, kurang dua bulan dari sekarang.

"Euh, soal itu, Bu ...," Fira sedikit gelisah, "kami punya usul BA yang baru." Pelannya jawaban Fira mengundang Tere menyimpan langkah dan memalingkan wajah ke arahnya.

"Who?"

"Opa dan Oma Bagio," cicit Fira ketakutan.

Siapa pun yang mengenal Tere Soemarjo pasti tahu memberi saran di detik-detik terakhir sama saja dengan menggali lubang untuk diri sendiri. "Kok—" Tere mengatup bibir; menata kata demi kata yang keluar dari mulutnya. "Kenapa nggak disampaikan di rapat terakhir? Is there a problem with the BA we have chosen?"

"Ng-nggak, Bu. Kami cuma baru terpikir sesuatu yang baru, yang berbeda."

Tere menyorot bergantian tiga staf yang menyertainya. Semua kompak menundukkan kepala. Beruntungnya, gejolak amarah Tere disela kabar dari Alin. Asisten Tere datang tergopoh bersama ponsel Tere di tangannya. "Kenapa, Lin?"

"Handphone Bu Tere bunyi dari tadi. Sepertinya penting."

Nama Oyis terpampang sebagai caller ID. Tere mengerutkan kening. "Halo. Yis?"

"Bu Tere," Oyis terengah-engah, "saya dan Kang Agus di perjalanan menuju rumah sakit."

"Rumah sakit?"

"Bubos ... pingsan."



Tere tak tahu secepat apa dia berjalan. Rasanya seperti melayang.

Déjà vu. Tiga bulan lalu dia melakukan hal yang sama untuk sulung Tirtadjaya. Kini, bungsu Tirtadjaya yang menjadi alasan Tere selekas mungkin meninggalkan butiknya. Sepanjang perjalanan kepala Tere hanya diisi wajah sang kekasih. Dia ingat pagi tadi Khaw masih baik-baik saja.

"Bu Tere." Oyis menyongsong dari arah berlawanan. "Oma dan Bu Martha," katanya lagi sambil menunjuk ke balik punggung.

Napas satu-dua Tere seakan dicerabut paksa. Dengan tangan dan tungkai yang gemetar, perempuan itu berpegangan pada tiang terdekat. Kenyataan memaksanya bangun dari kecemasan yang mengepung. "Khaw baik-baik aja?"

Too Good To Be TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang