Prolog

46 4 2
                                    

Suara pecahan kaca kembali terdengar di malam itu. Jerit dan tangisan seorang wanita juga turut menjadi pengiring. Suara bariton pria adalah musik utama yang terekam dalam memori.

"Jangan pernah membantahku! Kamu tidak lelah seperti itu terus, hah?!"

"Apa kamu tuli hingga tidak mendengarkanku?!"

Ini bukan sinetron yang sering ditonton pembantu di tempatnya tinggal. Pun ini bukan tontonan yang menghibur, tetapi tontonan menyakitkan yang sudah sejak 5 tahun lalu masuk ke dalam kehidupannya.

Seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun menyaksikan dalam diam keributan itu. Dadanya sesak, air matanya terus menetes, kedua tangannya saling terkepal erat. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya.

Kakinya sangat sulit untuk melangkah, hatinya berkata ingin menyelamatkan sang ibu, tetapi fisiknya takut menerima sebuah pukulan dari ayahnya. Alhasil dia hanya menonton itu. Menikmati dalam kesedihannya.

"Kamu gila, Mas."

"Aku gila karena kamu! Kalau kamu bisa menjaga perasaan dan interaksi dengan lelaki lain, aku tak akan seperti ini!"

"Hanya rekan kerja! Tidak lebih!"

"Oh? Membantah lagi?"

"Kamu terlalu membatasiku!"

Senyum miring mulai terbit, dia mengusap pelan rambut wanita di depannya. "Maumu apa, Sayang?" tanyanya lirih.

Tangan wanita itu berusaha meraih sebuah pecahan kaca yang ada di belakangnya. Dengan segera dia mengarahkan pecahan tersebut ke wajah sang suami dan berhasil. Suaminya mengerang keras, menyentuh pipi yang mengeluarkan darah.

"Mauku kita bercerai!"

"Aku sudah tidak tahan dengan sikapmu. Selama ini aku bertahan karena El, tapi kamu tidak menunjukkan perubahan bahkan lebih gila. Mari bercerai!"

Dua kata itu bukan akhir, tetapi awal dari sebuah penderitaan bocah 10 tahun yang masih setia menyaksikan kejadian di depan matanya sendiri. Awal goresan trauma itu terbentuk.

NEPENTHE (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang