Pukul delapan malam Lingga baru sampai ke rumah. Setelah memarkirkan motor di garasi hunian berlantai dua itu, kemudian ia masuk. Baru saja melepas sepatu dan menyimpannya dalam rak, suara yang ia kenali terdengar dari kejauhan. Langkahnya semakin berat tak kala, kian keras suara tawa dari dalam.
Lingga akhirnya melihat sosok wanita berambut pendek sedang duduk bersama seorang pria membelakanginya. Mereka terlihat sedang mengobrol diiringi tawa di sela-sela percakapan. Tak ketinggalan tangan pria yang melingkar dengan mesra pada bahu wanita itu, serta jarak antara keduanya yang begitu tipis. Lingga sangat membenci pemandangan seperti ini setiap malamnya.
Hal seperti ini selalu terjadi di setiap hari. Berulang-ulang seperti saluran radio rusak. Dengan macam-macam pria yang berbeda wanita yang berstatus ibunya itu, seakan tak merasa lelah dengan semua hal yang ia lakukan. Lingga muak melihat sosok yang seharusnya menjadi tempat ternyaman saat pulang ke rumah, justru tak dapat memberikan hal sekecil itu.
Amarah yang pelan-pelan terkumpul sejak perpisahan, membentuk sebuah bendungan yang lama kelamaan terisi penuh. Ia tak tahu harus bertahan sampai kapan dengan sebuah bom waktu yang ada dalam hatinya. Semenjak kehilangan ayah karena kesalahan sang ibu hingga saat ini, berdekatan dengannya saja ia enggan. Lingga membenci wanita itu. Wanita yang sudah membuat masa kecilnya hancur berantakan.
Suara langkah kaki Lingga, menyadarkan pasangan itu. Wanita yang bernama lengkap Lisa Adriana ini menoleh dan tersenyum ke arah Lingga.
"Sayang, kamu udah pulang?" sapanya. Lingga hanya menatapnya sekilas tanpa berniat membalas ucapannya.
"Udah makan belum, Sayang? Mama sama Om Gani mau keluar cari makan. Kamu ikut, ya?" tawarnya yang menimbulkan senyum sinis di bibir Lingga.
"Nggak perlu."
"Ayolah, Sayang. Kita udah lama banget loh nggak makan bareng," bujuknya lagi. Lingga tertawa remeh mendengarnya.
Untuk bertatapan seperti ini saja dia tidak ingin, apalagi harus makan bersama wanita itu. Hal yang sangat mustahil ada di hidup Lingga sekarang.
"Mending Mama bawa pacar itu pergi. Aku muak lihat Mama."
Ucapan pedas itu sontak mengundang amarah Lisa yang kini sudah berdiri sambil membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap sang anak.
Wanita itu mengibaskan rambutnya lalu memasang tatapan tajam diiringi napas yang memburu. Kedua tangannya sudah berada di pinggang, ia hendak menyemburkan api amarah yang dipancing oleh anaknya sendiri.
"Lingga!"
Sedangkan pemuda itu benar-benar tidak memedulikan ibunya. Ia melangkah menuju tangga meninggalkan dua orang yang sudah merusak hari baiknya. Telinga Lingga samar-samar mendengar sang ibu mengoceh akibat ketidaksopanannya. Namun, ia sama sekali tidak menghiraukan.
Lingga membanting dirinya di kasur, lelah dengan hari ini. Lelah fisik dan hati. Jika perasaannya tidak baik seperti ini hanya satu hal yang bisa mengembalikannya. Yaitu, Ara.
Lingga meraih ponselnya hendak menghubungi gadis itu. Tangannya sudah sibuk menekan layar pintar untuk mengabari Ara tetapi seketika terhenti lalu melempar ponselnya ke kasur.Lingga bangkit menuju kamar mandi, membersihkan dirinya dari rasa lengket keringat setelah aktivitasnya seharian dan yang lebih penting berusaha meredam rasa panas yang membakar dalam dada dengan berendam air dingin.
Lingga menenggelamkan kepalanya dalam bathup. Tak bergerak selama beberapa detik. Membiarkan air dingin itu menembus kulit, harapannya adalah suhu rendah yang ia rasakan sekarang dapat masuk hingga ke hati yang dipenuhi bara api. Dalam posisi itu bayangan masa kecilnya berkelebat di ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
RomanceSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...