Sebuah Fakta

6 1 1
                                    

Setelah mengamuk dengan menendang pintu kamar ibunya berkali-kali, Lingga memutuskan untuk pergi dari sana. Amarah sedang menguasainya hingga hawa panas terus membakar seluruh tubuhnya. Lingga menuju dapur kemudian membuka kulkas dengan kasar, meraih botol air dingin meneguknya secara rakus.

Ia harap sensasi sejuk yang melewati kerongkongan dapat membuat perasaannya sedikit membaik. Namun, nyatanya tidak! Seperti lahar panas yang perlahan menghanguskan, seperti itulah hati Lingga saat ini.

Ia tidak bisa menahan diri untuk menunggu penjelasan atau menebak-nebak apa yang terjadi. Ia ingin apa yang tidak ia ketahui selama ini dijelaskan sekarang.

Lingga kembali ke kamar ibunya dan mengetuk pembatas antara ia dan Lisa berkali-kali. Tak ada ucapan kali ini, hanya ketukan tiada henti. Suara tanpa jeda itu akhirnya membuat orang yang berada di dalamnya keluar. Lingga segera masuk kemudian berbalik menghadap ibunya.

Lisa kembali ke kasurnya dengan langkah gontai. Seluruh tubuhnya terasa lemas seakan semua tulang di badan lolos dari tempatnya. Mata yang sembab dan memerah menandakan betapa pilu tangisan wanita itu.

Lingga hanya diam. Ia memindai pemandangan di depannya. Mencoba mengumpulkan beberapa petunjuk atas kejadian ini dan menjadikannya satu agar tersusun satu kalimat yang dapat mengartikan semuanya. Meskipun ia berkata enggan menebak, nyatanya ia tidak bisa mengabaikan perasaannya.

Lisa bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju meja kecil di samping ranjang. Lalu ia kembali dengan memegang sebuah benda yang Lingga tahu itu foto. Namun, tak jelas itu gambar apa.

Lisa meminta Lingga duduk bersamanya di ujung ranjang. Namun, pemuda itu diam saja dan Lisa hanya bisa mengembuskan napas pelan melihat raut amarah di wajah anaknya.

"Perceraian itu, memang Mama yang meminta. Tetapi bukan karena alasan yang selama ini kamu tahu. Sebenarnya yang selingkuh selama ini itu adalah Papa kamu."

Kalimat pertama yang terucap dari bibir Lisa membuat Lingga melebarkan mata. Tubuhnya mematung dengan rasa pedih yang tiba-tiba menjalar dalam dada.

"Bukan cuma itu. Pernikahan yang terjadi di antara Mama dan Papa juga disebabkan oleh rencana Papa kamu. Dia mendekati dan menikahi Mama karena hanya menginginkan apa yang Mama punya. Saat itu, almarhum kakek kamu mewarisi semua kekayaannya pada Mama. Dan waktu pembacaan hak waris itu, Papa kamu ada di sana karena kita memang sudah berpacaran."

Lisa terus bercerita sambil membayangkan masa lalu kelam yang begitu menyakitkan. Ia harus menekan rasa ngilu yang kini menyerang dada demi sebuah fakta yang sudah seharusnya diketahui oleh Lingga.

"Warisan itu bisa beralih pada Mama ketika nanti kakek kamu sudah meninggal. Karena waktu itu memang kakek kamu sakit-sakitan. Dan juga kalau Mama sudah menikah dan memiliki keluarga, karena nanti seluruh aset perusahaan akan diambil alih oleh suami Mama, yaitu papa kamu.

Setelah mendengar penuturan pengacara kakek kamu, nggak tahu kenapa papa kamu berubah. Dia mempercepat pernikahan. Terkesan terburu-buru padahal saat itu Mama dan papa baru menjalin hubungan sekitar satu tahun. 

Mungkin karena dulu Mama bodoh dan termakan rayuan papa kamu, yang bilang dia cinta sama Mama dan akan menjaga Mama kalau kakek kamu udah nggak ada. Sampai akhirnya Mama setuju mempercepat pernikahan. Lalu Mama mengetahui fakta mengejutkan yang bikin Mama nggak bisa lagi bertahan dengan Papa kamu."

Lisa diam dan tidak melanjutkan ceritanya. Hal yang membuat Lingga gusar menanti kalimat selanjutnya. Kedua lutut Lingga perlahan melemas karena takut dengan fakta yang akan ia terima saat ini. Bagaimana jika selama ini ia salah paham dengan ibunya?

"Lingga," panggil Lisa yang membuat Lingga akhirnya beradu pandang dengan mata sang ibu.

Lingga masih diam. Tak bergerak sedikit pun. Otaknya terus berputar berusaha memahami cerita itu. Jika semua itu benar, apa yang selama ini ia lakukan kepada ibunya itu sangat buruk?

Ara Lingga (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang