Di pelajaran kedua tepatnya sebelum bel istirahat deringan di ponsel Lingga, membuat pemuda itu mencuri pandang ke arah benda pintar miliknya. Keningnya berkerut melihat nomor baru yang masuk ke dalam aplikasi berwarna hijau bergambar telepon.
Dibukanya pesan itu dan tertegun melihat apa yang tertera di dalamnya. Satu kalimat utuh yang berhasil membuat Lingga tidak dapat berkonsentrasi lagi dalam pelajaran. Matanya terus tertuju pada jejeran huruf yang lebih menarik daripada penjelasan guru yang tengah menerangkan. Jarinya dengan cepat mengetik balasan pesan itu.
[Apa ini Papa?]
[Iya, Ga. Ini Papa.]
Satu kalimat balasan itu membuat Lingga membelalak. Ada rasa yang membuncah ketika akhirnya mendapatkan kabar tentang sang ayah. Lingga terus berbalas pesan mengabaikan ucapan guru di depannya.
Senyum lebar terukir di bibir Lingga. Rasa rindu itu akhirnya akan terurai. Ia akan bertemu dengan sang ayah ketika beliau mengajaknya pergi makan. Setelah bertahun-tahun tak melihat sosok yang paling dikagumi, kini segala gejolak dalam dada akan luruh ketika berjumpa.
Lingga memasukan ponselnya ke dalam saku celana, lalu kembali memperhatikan papan tulis di depan dengan senyum yang tak hilang dari wajah. Rasa tidak sabar menggebu-gebu menciptakan debaran yang menggila.
Dalam pikirannya saat ini adalah apa yang akan ia katakan kepada sang ayah. Apa ia harus menanyakan bagaimana kabarnya lebih dulu atau langsung memeluknya? Membayangkan hal itu saja, Lingga sudah benar-benar merasa senang.
Ia harus segera memberikan kabar bahagia ini kepada Ara. Ia yakin gadis itu akan merasa senang, sama seperti dirinya.
Tepat setelah berucap itu dalam hati, bel berbunyi nyaring. Semesta sepertinya sedang berpihak kepada Lingga.Lingga merapikan semua buku dan alat tulis, lalu bangkit dari duduknya berlari ke pintu sebelum ramai dengan para siswa yang juga menuju arah yang sama. Di saat yang bersamaan Ara ternyata sedang berdiri di depan kelasnya.
"Kamu kok di sini, Ay?" tanya Lingga yang langsung melingkarkan tangannya di pinggang Ara.
"Jam olahraga, Ay," jawab Ara. Lingga baru menyadari jika Ara kini memakai pakaian olahraga.
"Mau ganti baju dulu?" tanya Lingga yang diangguki oleh Ara. Keduanya turun ke kelas Ara untuk mengambil seragam.
Lingga mengambil alih paper bag yang berisi baju ganti Ara. Kemudian berjalan beriringan menuju kamar mandi. Setelah sampai, Lingga kembali menyerahkan tas itu dan menunggu Ara berganti baju.
Perbuatan Lingga mengundang banyak pasang mata yang berlalu lalang di jam istirahat ini. Berdiri menyandarkan punggungnya di tembok, lalu memainkan ponsel dengan satu tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku celana membuat Lingga terlihat begitu memesona.
Dan karena hal itu juga banyak mata yang memandang dengan berbagai mimik wajah. Ada yang merasa jengkel melihat keromantisan pasangan populer di sekolah itu dan ada yang iri karena begitu manisnya perlakuan Lingga kepada Ara.
Tak berapa lama, Ara keluar sambil merapihkan kemeja putih yang masih berantakan. Lingga menegakkan tubuhnya dan membantu Ara membenarkan dasi Ara yang miring. Kemudian mereka kembali melanjutkan langkah menuju kantin. Mengabaikan puluhan tatapan mata yang masih memandang ke arah keduanya.
Di kantin rupanya kedua temannya sudah berada di sana sambil menikmati makanan. Lingga dan Ara turut duduk membuat kedua pemuda itu menoleh bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
RomansaSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...