Sebuah senyum menyeringai dari bibir Hardi, menghasilkan deru napas memburu dari Lingga. Pemuda itu menatap tajam sosok yang dulu menjadi satu-satunya orang yang paling ia segani dan akan ia ikuti jejaknya kelak setelah dewasa. Namun, dengan kebenaran yang terungkap membuatnya tak lagi memiliki keinginan untuk menjadi seperti sang ayah.
Bisa dikatakan ia adalah anak dari seorang pembunuh. Kenyataan yang begitu menghantam perasaan Lingga hingga hancur berkeping-keping. Terlebih sikapnya kepada Lisa yang benar-benar buruk tanpa ia tahu ada sesuatu yang sengaja ditutup oleh ibunya itu untuk membuatnya tetap baik-baik saja hingga saat ini dengan tidak mempedulikan bagaimana hatinya sendiri yang mungkin saja terluka karena perbuatan anaknya.
Kali ini ia harus berhadapan langsung dengan Hardi. Ia bukan lagi anak usia delapan tahun yang tidak tahu apa-apa dan takut akan sesuatu hal yang menyakitkan. Meski tidak dapat dipungkiri pedih itu tetap ada menggerogotinya sedikit demi sedikit.
Pria itu sudah terang-terangan berani mendekati Ara. Seseorang yang menjadi kelemahan Lingga. Ini pasti rencana dari sang ayah. Ia tahu jika Lingga pasti tidak berdaya ketika Hardi memanfaatkan gadis yang dicintai anaknya. Lingga masih tidak mengetahui apa maksud dari Hardi yang berani menemuinya setelah sekian lama. Jika itu adalah untuk kembali membuatnya menderita, Lingga bersumpah akan membunuhnya.
"Kalau begitu Om pergi dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi. Oke, Ara?" pamit Hardi lalu bangkit dari duduknya dan satu tangan Hardi mendarat di bahu Ara lalu menepuknya pelan.
Hardi berjalan melewati Lingga setelah sebelumnya memberikan senyum sinis kepada sang anak. Ia berlalu begitu saja dan akan menanti kedatangan Lingga sendiri kepadanya. Ia yakin Lingga akan segera menemuinya.
Setelah kepergian Hardi, Lingga menarik tangan Ara hingga tubuh Ara tertarik dan bangkit dari duduknya. Tanpa berkata apa-apa, Lingga menarik Ara keluar dari tempat itu. Membawanya beberapa meter menjauh sampai tak ada pasang mata yang memperhatikan mereka.
"Kamu apa-apaan sih, Ay? Ngapain kamu ngilang kaya gini? Kamu kayak anak kecil tahu nggak?!"
Ucapan yang lebih terdengar seperti makian itu, Lingga lontarkan kepada Ara. Rahangnya mengeras dengan urat-urat yang menonjol menandakan ada amarah di setiap kalimat pemuda itu. Kedua bola matanya pun menajam seakan ingin menusuk gadis yang kini berdiri tertunduk di hadapannya.
Jari-jari tangannya pun terkepal erat karena berusaha menahan gejolak emosi dalam dada. Ia tidak ingin semakin menyakiti Ara jika hal itu terjadi.
"Ay, lihat aku! Kamu tahu nggak aku nyariin kamu ke mana-mana? Aku udah kayak orang gila karena nggak bisa nemuin kamu."
Kedua tangan Lingga terangkat ke bahu Ara. Mencengkram erat dengan tatapan yang masih sama seperti sebelumnya. Tersirat rasa cemas dan geram di waktu yang bersamaan. Dalam hatinya, mengapa Ara dengan senang hati bercakap-cakap dengan orang yang tidak pernah ia temui. Meskipun itu adalah ayah dari kekasihnya sendiri, seharusnya Ara mempunyai dugaan-dugaan tentang pria yang sedang bersamanya.
Bukan justru saling bertegur sapa dengan duduk saling berhadapan. Bisa saja dengan reaksi yang diberikan gadis itu kepada Hardi, ada rencana yang sedang dibuat pria itu. Bisa saja Hardi mengira Ara orang yang mudah tertipu dan dimanfaatkan. Bisa saja dan bisa saja. Pikiran itu berputar-putar bak benang kusut yang semakin membuat Lingga kalut.
Ia takut jika ayahnya itu akan menyakiti Ara. Bukan tidak mungkin hukuman yang ia terima setelah kejadian itu tak serta merta menghilangkan sifat gila yang dimilikinya. Rasa percaya yang dulu begitu besar kepada Hardi, sekarang lenyap berbarengan dengan rasa perih yang merayap pelan-pelan dan membunuhnya secara perlahan.
Ia harus melindungi ibunya saat ini. Kembali menghadirkan kebahagiaan yang hilang karena pria itu. Ia juga akan menjaga Ara dari apa yang mungkin di lakukan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
RomanceSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...