Ara mematung beberapa saat mendengar penuturan Lingga. Kalimat-kalimat yang menelusup ke telinga sama sekali tidak dapat dicerna olehnya. Hal yang ingin ia ketahui tentang apa yang terjadi kepada Lingga, ternyata begitu besar dan mencengangkan. Ara terus menatap Lingga yang tertunduk dengan masih memegangi tangannya yang terinfus. Pemuda itu terlihat malu setelah menceritakan segalanya.
Urat-urat di tangan Lingga menonjol ketika satu tangannya yang tak memegang jemari Ara mengepal. Tubuhnya pun menegang dan bergetar sebab menahan emosi yang kembali datang ketika dirinya mengingat sang ayah. Pedih itu tak mungkin dapat dilupakan dengan mudah, karena di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan sang ayah.
Ara akhirnya memahami bagaimana perasaan Lingga. Mengapa pemuda di depannya ini sampai enggan mengatakan yang sebenarnya, karena hal itu juga nyatanya sangat berat untuk diutarakan. Terlebih pasti tidak ada yang dapat dilakukan oleh Lingga karena ada ikatan ayah dan anak yang mengikat dirinya.
Ara memutar tangannya hingga kini jemarinyalah yang menggenggam. Lingga mendongak hingga pandangan mereka bertemu. Ara dapat melihat kepedihan dan rasa sakit di mata Lingga. Direngkuhnya tubuh Lingga, menenggelamkan kepala Lingga masuk ke dalam pelukan. Sedetik kemudian, terdengar isak tangis yang memecah kesunyian ruangan. Sedu sedan itu seperti alunan musik menyedihkan yang turut mampu mengundang air mata siapa pun yang mendengarnya.
Ara ikut meneteskan air mata sambil terus mengelus punggung Lingga. Sesekali ia mengecup pucuk kepala pemuda itu berusaha menenangkan perasaan Lingga yang sudah pasti hancur berkeping-keping. Ia tak masalah dengan Lingga yang kini meremas lengan bagian atasnya, mungkin Lingga juga sedang berperang batin dengan hatinya.
Ara mengurai pelukan dan memandang wajah Lingga yang basah oleh air mata. Ia mengusap pipi pemuda itu dan tertunduk untuk mengecup kelopak mata Lingga. Kemudian ia kembali mengarahkan wajah Lingga agar saling bertatapan. Lingga terpejam sambil menikmati elusan di pipinya. Bagai obat dari segala penyakit, apa pun yang dilakukan Ara saat ini mampu menyembuhkan rasa sakitnya.
Lagi dan lagi, ia benar-benar merasa beruntung. Kasih sayang Ara kepadanya begitu tulus dan gadis itu tidak mempermasalahkan tentang kacaunya keluarga kekasihnya ini. Justru Lingga semakin malu karena Ara begitu merangkulnya dengan hangat.
Lingga merasa setelah melihat Ara, ia seolah datang ke dunia yang berbeda. Padahal, sampai tadi dunianya seperti akan segera hancur.
"Aku bersyukur banget belum sempet ngenalin kamu ke Papa," ucap Lingga dengan suara parau. Keduanya berpandangan saling menyalurkan rindu yang kemarin sempat terhalang.
"Tapi papa kamu udah tau aku," ucap Ara yang masih sibuk mengusap wajah Lingga.
Lingga menegakkan tubuhnya lalu menggenggam kedua tangan Ara. Sedikit meremas, merasa buruk karena sikap sang ayah.
"Maafin aku, Ay," sesal Lingga. Kepalanya tertunduk sedang berusaha menekan luapan perasaan yang bercampur aduk.
"Aku juga minta maaf udah ngomong kayak kemarin sama kamu."
"Kamu nggak salah. Aku pantas dapet itu. Aku emang bego banget."
Lingga memukuli kepalanya sendiri, menyesali segala hal yang ia lakukan kepada Ara. Sebagai pria ia tidak seharusnya berpikiran dan bahkan berkata buruk kepada wanita. Terlebih itu adalah Ara. Hanya saja saat itu emosi yang terendap tak mampu membendung emosi yang telah penuh. Hingga akhirnya kalimat-kalimat itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Ara menahan tangan Lingga yang sedang sibuk menghukum dirinya sendiri. Gelengan kecil disertai senyuman, Ara tuturkan ketika Lingga menatapnya. Ara membawa jemari Lingga ke bawah pipinya, menyandarkan kepala di sana sambil memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
Storie d'amoreSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...