Lingga menuruni tangga menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering dan sakit, mungkin ini akibat terlalu lama menangis semalaman. Katakanlah ia pria cengeng, tidak seperti laki-laki di luar sana yang lebih mengutamakan logika daripada perasaan jika ditimpa masalah yang meremukkan hati, menimbulkan luka dan denyut nyeri yang bertubi-tubi. Biarlah mereka berkata seperti itu karena nyatanya pedih yang menusuk hati tak dapat ditahan meskipun ia sudah berusaha dengan susah payah.
Ketika melewati cermin besar di ruang tamu, Lingga mengamati wajahnya. Mata yang sembab, muka yang membengkak, ditambah dengan rambut kusut yang menjadi pelengkap. Ia terlihat sangat kacau. Lingga mengutuk perbuatannya yang meratapi kesedihan hanya untuk seorang ayah yang tidak layak mendapatkan sebutan itu, membuatnya hancur karena seumur hidup ia selalu membanggakan sosok sang ayah.
Kini, sudah cukup ia menangis. Hardi sudah membuktikan dirinya bukan orang baik. Tugasnya sekarang adalah mencaritahu apa maksud Hardi menemui dirinya dan sang ibu dan juga mencari informasi tentang apa yang telah terjadi kepadanya hingga dapat berkeliaran dengan bebas seperti itu. Ia harus bertanya tentang ini kepada Lisa.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Lingga kembali naik ke kamarnya dan membersihkan diri, bersiap untuk pergi ke sekolah. Ketika ia meraih handuk dan melilitkan di pinggang, sebuah benda terjatuh ke lantai. Perasaan yang berkecamuk dalam dada, membuatnya menghancurkan seisi kamar. Barang-barang yang sudah tidak berada pada tempatnya itu yang menyebabkan Lingga melupakan letak ponselnya. Seketika ia tersadar akan benda pipih yang tidak bernyawa sejak sore hari kemarin karena kehabisan baterai. Segera ia menyambung kabel pengisi daya dan pergi ke kamar mandi.
Lima belas menit berlalu, Lingga sekarang sudah memakai seragam sekolahnya. Dengan handuk yang masih menggantung di leher, Lingga duduk di tepi kasur dan meraih ponselnya dan menyalakan daya. Tangan Lingga yang satunya sibuk menggosok rambut agar air yang masih menetes terserap ke handuk tersebut.
Lingga menekan angka satu sedikit lama lalu dari angka itu langsung terhubung pada nomor Ara. Suara operator membuat Lingga menaikkan sebelah alisnya. Ara tidak pernah mematikan ponselnya, jika kehabisan baterai sekalipun ia selalu membawa power bank agar ponselnya itu tetap menyala. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Lingga mencoba menghubungi Ara lagi tetapi tetap sama. Bukan Ara yang menerima panggilan.
Lingga menyerah. Ia akan membiarkan ponselnya terisi penuh selagi sarapan. Setelahnya ia akan menjemput Ara. Lingga memandangi benda pintar itu sebelum benar-benar keluar kamar. Perasaan tidak enak tiba-tiba merayap ke hatinya.
"Lingga, turun, Sayang. Mama udah buat sarapan."
Lingga mengalihkan pandangan dari benda persegi panjang yang menjadi penghalang dirinya dan kamar ketika mendengar panggilan itu. Segera ia turun ke dapur dan mengusir segala pikiran yang tiba-tiba masuk ke kepala.
"Kamu baik-baik aja, Ga?" tanya Lisa ketika Lingga duduk di hadapannya.
Ia memandangi wajah anaknya yang tidak segar. Seperti orang yang habis menangis. Ia menunggu Lingga menjawab pertanyaannya. Namun, pemuda itu tampak enggan membicarakan apa yang terjadi kepadanya. Lisa meraih jemari Lingga dan menggenggamnya erat. Matanya beradu pandangan dengan bola mata hitam Lingga, berusaha membuat Lingga mau bercerita kepadanya.
"Kita harus membicarakan tentang Papa dengan serius, Ma. Mama udah nggak bisa sembunyikan apapun sama aku. Kalau Mama seperti ini terus aku nggak akan bisa melindungi Mama dari perbuatan jahat Papa nantinya," ucap Lingga panjang lebar.
Lisa melebarkan mata mendengar penuturan Lingga. Ia melepas tangan Lingga dan mengalihkan pandangan dari sang anak.
"Aku ketemu sama Papa. Dia udah membuktikan sendiri kalau dia itu emang orang jahat. Papa mengaku dia yang udah buat Kakek meninggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
RomanceSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...