Lingga memasuki rumah dengan perasaan yang berantakan. Penyesalan dan rasa bersalah tercampur aduk membuat sebuah bilang pedang yang perlahan menembus hati. Langkahnya sangat gontai ketika menaiki tangga untuk menuju kamar dan kembali teringat kalimat yang keluar dari bibir Ara sebelum gadis itu benar-benar menghilang masuk ke dalam rumahnya.
"Jangan sekarang. Aku nggak siap menghadapi kamu. Aku juga nggak punya tenaga untuk mendengarkan. Terlebih, aku mau kamu cerita sama aku emang karena kamu butuh aku untuk jadi sandaran kamu. Bukan karena paksaan dari aku.
Aku nggak mau jadi pacar yang membatasi pasangannya sendiri. Sampai-sampai pacar aku lebih memilih mengeluarkan apa yang dirasakannya sama orang lain daripada aku. Kamu pulang aja. Pikirin baik-baik apa kamu emang benaran mau cerita sama aku atau nggak."
Kepala Lingga terasa berdenyut-denyut. Ketika ia sudah ingin menjelaskan semuanya, Ternyata Ara justru tidak mau mendengarkan. Bukankah memang ini yang diinginkan oleh gadis itu?
Mengapa sekarang begini?Bukan tanpa alasan ia ingin segera memberitahukan semuanya kepada Ara detik itu juga, sebab ia tidak yakin jika ditunda ia tak akan sanggup untuk bercerita. Biar bagaimanapun itu adalah aib yang harus ditutup rapat-rapat.
Penolakan Ara seakan menjadi bumerang untuknya. Perbuatan yang ia pikir akan membuat semuanya baik-baik saja ketika ia tetap diam, nyatanya adalah senjata yang mampu menikamnya. Jika sudah seperti ini, ia harus memantapkan hati untuk bersedia membeberkan semua fakta tentang kehidupannya yang dapat dikatakan kacau balau.
Lingga merebahkan tubuhnya di ranjang lalu meraih benda pipih dari kantong celana. Ia mencari kontak Ara dan meneleponnya. Satu panggilan tak diterima oleh gadis itu. Disusul oleh panggilan lainnya yang tetap sama. Lingga mengembuskan napas kasar lalu mematikan panggilan. Setidaknya Ara menghidupkan ponselnya. Tidak menghilang seperti tadi pagi dan itu sudah cukup.
Pikirannya beralih pada Hardi. Seketika saja ia mencari nomor pria itu dan meneleponnya. Lingga mengutuk sang ayah karena tak juga mengangkat bahkan sudah ketiga kalinya panggilan itu. Tepat di panggilan keempat, suara dari seberang sana terdengar.
"Halo, Lingga."
"Apa mau Papa?"
Lingga langsung saja ke poin utama dari kalimatnya. Ia tak ingin berbasa-basi dengan pria yang sudah menghancurkan masa kecilnya itu.
"Jangan terburu-buru, Nak. Kita bisa bicara pelan-pelan antar pria. Bagaimana kalau kita ketemu sambil makan dan minum?"
"Aku bahkan nggak sudi lihat muka Papa. Jangan berharap aku mau ikutin apa mau Papa."
Lingga sudah kehilangan rasa hormatnya kepada sang ayah. Ia bahkan tak ragu berbicara kasar kepada Hardi walaupun tahu itu sangat tidak baik.
"Jaga ucapan kamu, Lingga. Biar bagaimanapun Papa ini Papa kamu. Kamu harus sopan sama orang tua."
Lingga tertawa sinis mendengar ucapan dari Hardi. Tawa yang mampu di dengar oleh sang ayah yang berada di seberang. Jika bukan karena menyangkut Ara, ia bahkan enggan berbicara seperti ini kepada ayahnya.
"Kamu tertawa? Di mana rasa hormat kamu sama orang tua, Lingga? Dasar anak kurang ajar!"
Makian itu dilontarkan Hardi dengan suara keras. Lingga mengerat rahangnya serta mengepalkan jemari tangan hingga buku jarinya memutih mendengar apa yang ucapkan Hardi. Mungkin memang seperti itulah sang ayah ketika topengnya terlepas. Selama ini ia sangat bodoh karena begitu mengagumi sosoknya.
"Aku nggak punya waktu untuk melakukan hal nggak penting kaya gitu. Apalagi sama Papa. Buatku sekarang, Papa udah bukan sosok yang aku hormati."
"Dasar anak nggak tahu diuntung! Kalau bukan karena Papa, kamu nggak bakalan ada di dunia ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara Lingga (End)✔️
RomanceSiapa sih, murid Sekolah Internasional Cadraloka yang tidak tahu Ara dan Lingga? Sepasang kekasih ini bukan cuma romantis dan saling bucin, tapi juga cerdas dan berprestasi. Wah, pokoknya _perfect_ banget, deh! Eits, tapi apa benar se-sempurna itu...