BucinizTaa

40 5 6
                                    

Duduk di kursi paling depan dan dekat dengan guru adalah tempat yang paling dihindari untuk murid yang nakal. Pada posisi itu murid tidak ada bisa berkutik jika melakukan hal seperti mencontek, tidak memperhatikan apa yang sedang guru terangkan atau bahkan tidur karena mata pelajaran yang membosankan. Namun, tidak untuk Ara. Menurutnya tempat itu adalah spot paling bagus untuk matanya yang minus. Baik huruf atau angka yang berada di papan tulis terlihat sangat jelas tanpa bantuan kacamata atau softlens yang terkadang lupa ia kenakan. Ia juga bukan anak yang tidak mendengarkan apa yang sedang dipelajari dan serius dalam belajar. Oleh karena itu kursi pojok tepat berhadapan dengan guru adalah tempat yang sangat cocok untuknya.

Ketika guru sedang mencatat di papan tulis, getaran ponsel di saku baju Ara membuatnya terperanjat. Diam-diam Ara meraih benda pintar itu dan membuka sebuah pesan WhatsApp.

[Ay.]

[Ay.]

[Ay.]

Pesan yang hanya berisi dua huruf itu datang bertubi-tubi hingga mungkin sekarang udah ada sepuluh baris. Ara berdecak kesal karena lupa membisukan getaran ponselnya oleh karena itu ia merasa terganggu dengan pesan Lingga.

Jarinya dengan lihai membalas pesan itu sambil mencuri pandang menatap guru yang masih sibuk menulis di papan.


[Apa? Kamu ganggu.]

[Aylofyuu.]

[Ih, apa sih kamu. Nggak jelas.]

[Ay.]

[Ay.]

[Ay.]

[Aylofyuu.]

Ara tergelak tanpa suara membaca pesan itu. Lingga selalu bisa membuat dirinya terus jatuh cinta kepadanya. Pemuda itu sangat pandai menarik hati Ara untuk tetap tertuju padanya meski dengan hanya pesan penuh ketidakjelasan seperti ini.

Ara sangat bersyukur memiliki Lingga di hidupnya. Pemuda itu sudah memberinya warna dan bahagia. Ia harap hal manis seperti ini terus menghiasi hubungan percintaan keduanya.

****

Tanpa terasa dua mata pelajaran sudah terlaksanakan. Bel tanda waktu beristirahat sudah berbunyi nyaring. Para siswa dan siswi berbondong-bondong meninggalkan ruangan untuk pergi ke kantin sekadar mengisi perut atau hanya minum. Tak terkecuali Ara yang saat ini sedang menunggu Lingga di depan kelas.

Kedua bola mata gadis itu melihat kanan dan kiri mencari sosok tinggi yang sangat ia kenali. Namun, hampir sepuluh menit berlalu batang hidung kekasihnya itu tak kunjung terlihat. Ara mengeluarkan ponselnya lalu mengetik sesuatu pada benda pipih itu. Ia berdecak kesal karena centang dua abu-abu itu belum berganti warna.

Sudah tak bisa lagi menunggu, Ara melangkah menuju kelas Lingga. Bibir gadis itu mengerucut beberapa senti ke depan dan ia menghentakkan kaki hingga suara sepatu yang beradu pada lantai terdengar berisik.
Ara menaiki tangga yang menuju kelas Lingga di lantai tiga. Lalu lalang para siswa yang berlarian menuju kantin begitu mengerikan sebab mereka menabrak bahu siapa saja di depannya.

Hampir saja tubuh Ara terpental saat tanpa sengaja seorang siswa menuruni tangga dengan cepat dan menabraknya. Membayangkan terguling-guling di anak tangga lalu darah yang berceceran dari kepala sudah ada dalam benak Ara. Ia tak bisa berpegangan pada apa pun sebab berada di tengah. Tidak ada dinding atau pegangan tangga yang mampu diraihnya.

Ara memejamkan mata berpasrah jika kulit cantiknya nanti mungkin penuh dengan luka dan lebam. Ia tidak dapat menahan diri untuk tidak melayang jatuh. Sampai tiba-tiba sepasang tangan melingkar di perut Ara. Memeluknya dari belakang hingga tubuh Ara jatuh ke dekapan seseorang.

Ara Lingga (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang