Rasa Curiga

5 1 1
                                    

Pagi ini Lingga kembali masuk sekolah. Ia kini sudah berada di depan pagar rumah Cahyadi menunggu Ara keluar. Ia dilarang masuk oleh Ara karena Bela yang masih menginap di rumahnya. Pintu besi yang menjulang tinggi itu pun tidak dibukakan oleh Pak Cecep atas perintah nona mudanya. Pria paruh baya itu memasang wajah tidak enak kepada Lingga sebab biasanya bahkan sebelum Lingga datang pagar sudah dibuka lebar, tetapi kini terkunci rapat

Lingga memaklumi apa yang Ara lakukan kepadanya. Kecemburuan Ara memang begitu besar. Yang mana mungkin bagi sebagian orang, hal itu akan dapat menghancurkan hubungan. Karena salah satu pihak merasa terkekang dan tidak bebas.

Namun, Lingga tidak berpikiran sampai ke sana. Baginya, kecemburuan Ara adalah bentuk perasaan sayang dan cinta kepadanya yang begitu besar. Lingga menatap lagi jam yang melingkar di tangannya. Entah apa yang sedang dilakukan Ara hingga harus berlama-lama di dalam rumah.

Ara sudah cantik.
Tidak perlu memoles wajahnya lebih cantik lagi. Ia tak ingin banyak mata-mata pria lain memandang Ara dengan nakal. Jika bisa, ia akan masuk dan menyeret gadis itu keluar.

"Ay, udah lama, ya?"

Lingga menoleh melihat Ara menyembulkan kepada dari balik pagar. Lalu berjalan keluar menghampirinya.

Lingga memindai Ara dari atas sampai bawah. Bagaimana bisa Ara selalu terlihat memesona seperti ini setiap harinya? Rambut panjang yang selalu dikeriting gelombang pada bagian bawah, polesan riasan wajah yang natural dengan hanya ditambahkan perona pipi dan bibir berwarna merah muda. Seragam sekolah juga begitu pas melekat di tubuhnya.

Serta senyuman manis yang selalu Ara tebarkan ketika bertemu dengannya menjadi pelengkap kesempurnaan Ara. Semua itu mampu melelehkan Lingga dan semakin membuatnya jatuh cinta setiap hari kepada Ara.

Satu hal yang begitu mengganggu pemandangan yang sudah indah ini, yaitu rok sekolah yang berada di atas lutut. Lingga mengutuk sekolah yang membuat seragam dengan panjang rok yang seperti kurang bahan. Mengakibatkan siapa saja bisa melihat kaki jenjang Ara yang putih.

Seketika Lingga tersadar, setiap harinya ia dan Ara pergi ke sekolah dengan sepeda motor. Otomatis rok yang pendek itu semakin tersingkap dan bukan tidak mungkin paha Ara terlihat dengan jelas. Sepertinya ia harus mengganti motornya dengan mobil yang pasti lebih membuat Ara terlindung dari apa pun.

"Ay, ih malah ngelamun. Kenapa? Aku cantik, ya?" tanya Ara yang menarik Lingga kembali pada kenyataan. Ara menyengir lucu lalu bergaya di depan Lingga dengan macam-macam gerakan yang cantik.

"Iya kamu cantik."

Ara tersipu malu. Kedua pipinya bersemburat merah mendengar ucapan Lingga. Ara menutup wajahnya dengan kedua tangan tetapi memberikan jarak di antara jemarinya agar tetap dapat melihat pemuda itu.

Lingga tertawa renyah lalu menarik Ara ke dalam pelukan. Mengecup pucuk kepala berkali-kali, menghirup aroma shampo yang berhasil menjadi candu untuknya.

"Kamu beneran udah nggak apa-apa? Kayanya kamu masih demam, Ay," ucap Ara mengurai pelukan lalu menempelkan telapak tangannya di kening Lingga.

"Aku udah sembuh. Kan obatnya di sini," sahut Lingga yang menjawil dagu Ara.

"Ay, ih. Jangan gitu. Nanti aku malah jadi nggak mau sekolah," ucap Ara yang sudah tidak kuasa menahan debar-debar dalam dadanya. Ia paling tidak kuat jika Lingga sudah menggodanya seperti ini.

"Terus mau ke mana dong?"

"Ke KUA. Ajak kamu nikah."

Lingga menyemburkan tawa. Ia menjepit kepala Ara di ketiaknya dengan gemas hingga membuat gadis itu mengomel karena hal itu merusak tatanan rambutnya.

Ara Lingga (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang