Semakin kamu membenci, maka setitik cahaya pun, tetap terlihat gelap.
Zhea Maheswara
***
Hening. Hanya itu yang mewakili suasana meja makan malam ini. Selain suara denting sendok dan piring tak ada lagi suara lain. Dua orang yang duduk berseberangan itu, fokus dengan makanan di piring masing-masing.
Menu ala kadarnya tersaji, karena sosok lelaki tampan itu yang memasak untuk makan malam mereka. Saat kepindahan, asisten rumah yang berada di rumah sebelumnya memilih pulang ke kampung halaman. Sementara, di tempat tinggal mereka yang baru untuk mencari asisten rumah tangga cukup memakan waktu. Beruntung lelaki bertato Elang itu, bisa sedikit memasak meski hanya sekadar menggoreng telur dan oseng kangkung.
Meski di rumah dipenuhi banyak orang, yang didominasi para laki-laki. Namun, Elang tak sekali pun membiarkan anggotanya masuk ke dalam rumah, jika tidak ada urusan penting. Biar bagaimana pun, dia memiliki adik perempuan yang tentunya memiliki privasi untuk dijaga.
Terlihat, Rubby begitu menikmati masakan sang Kakak. Tak ada protes dengan menu seadanya, karena memang kondisi perutnya sudah bersuara minta diisi. Lain halnya dengan Rubby, Elang tidak begitu berselera menikmati makanan tersebut. Hanya satu, dua suap yang masuk, sisanya hanya diaduk. Pikirannya, tersita dengan perkataan Razka sore tadi perihal Zhea.
Sejujurnya, dia masih tak percaya dengan perkataan Razka. Sekecil itukah dunia, sampai adiknya bisa satu sekolah lagi dengan gadis itu? Bahkan, hingga detik ini pun, Rubby belum bercerita apa pun tentang pengalamannya bersekolah di tempat baru. Elang menghela napas berat sembari meletakkan sendok, lalu meneguk segelas air hingga tersisa setengah.
Elang lantas menatap sang adik yang sedang makan dengan lahap. Haruskah dia bertanya pada Rubby, perihal Zhea? Hatinya terasa bimbang untuk menanyakan kebenaran tersebut. Namun, diam saja dan terus menerka-nerka, kemungkinan malam ini dia tidak akan bisa tidur nyenyak.
“Kheem.” Elang berdehem terlebih dahulu, untuk memancing atensi Rubby. Dan itu, cukup berhasil, karena gadis dengan balutan tangtop putih dan rambut dicepol ke atas langsung mendongak, tetapi hanya sejenak karena dia kembali menunduk dan menikmati makanan yang tinggal sedikit.
“Dek, gimana dengan sekolah kamu hari ini? Lancar?” Elang sengaja memancing Rubby dengan pertanyaan basa-basi.
Baru saja Rubby memasukkan sesendok nasi terakhir ke dalam mulut, membuat dia tak langsung menjawab, dan memilih menelan terlebih dahulu, lalu meneguk segelas air. Kemudian menjawab, “Baik-baik saja, Kak. Emm, cuma ta—“
“Kenapa? Ada masalah?” Elang langsung menyambar. Jantungnya langsung berdebar, tak beraturan.
Rubby pun, langsung berdecap kesal. “Cuma masalah kecil sih, Kak. Cuma tadi, saat di kantin sekolah. Ada yang nyindir gue, karena gaya bahasa. Katanya, sok anak Jakarta, lah gue jawab aja ‘gue memang anak Jakarta, you know’ tapi begitulah, sekolah di kampung kaya gini. Nggak ada pembenaran apa pun. Perihal gaya bahasa gue-elo aja, jadi bahan julid siswa-siswa.” Rubby menjelaskan dengan bibir tercebik sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG CAKRAWALA
Roman pour AdolescentsFOLLOW DULU BARU BACA🔪 Follow IG: @astrisd_official FB: Author Astrisd *** "Ternyata lo masih perawan. Gue pikir perempuan seperti lo seperti sampah jalanan!" ujar Elang sarkastis. *** "Sama seperti slogan gang motormu. Darah dibayar darah. Nyawa d...