Zhea meremas ranselnya keluar dari sekolah. Sekolah yang pernah menjadi mimpi indahnya karena bisa berhasil masuk ke sekolah taraf internasional tanpa dipungut biaya. Nyatanya, sekolah ini juga yang melepaskan mimpinya itu. Dengan keyakinan penuh gadis cantik berambut panjang itu melangkah, tanpa menurunkan pandangannya. Dia tidak ingin terlihat lemah, sekalipun seisi sekolah telah menyaksikan video tak senonoh itu. Dia bukan wanita murahan! Bukan wanita penikmat seks bebas.
Sepanjang kakinya melangkah, Zhea menjadi bahan tontonan semua siswa. Samar dia mendengar bisik-bisik penuh hinaan, tetapi sebisa mungkin menulikan telinganya, membekukan hatinya. Dia tidak akan menangis dan menunjukkan betapa lemahnya dia. Bukankah itu yang diinginkan sang pembenci. Melihatnya menangis dan terpuruk? Sekalipun dia ingin menangis, bukan di sini.
Gerbang sekolah sudah terbuka lebar, seakan mempersilakan kepergiannya. Zhea tersenyum getir tatkala pandangannya terarah pada sosok yang telah membuat hidupnya berantakan. Ya, di depan gerbang, tepatnya di luar gerbang kakak beradik itu berdiri dengan wajah arogan. Zhea memilih tidak peduli. Sudah cukup dia menangis di atas kebahagiaan mereka.
“Wah, wah, si sok pintar akhirnya ditendang juga dari sekolah ini.”
Zhea menghentikan langkahnya, tatkala mendengar sindiran sarkas dari gadis cantik bergaya trendi. Sudut bibirnya tertarik menjadi senyuman manis, sembari berbalik setengah, hingga tatapan matanya beradu dengan pria yang sudah merenggut kesuciannya.
“Percayalah, hukum tabur tuai berlaku. Tidak hari ini, tapi nanti! Jika, saat itu tiba, kalian perlu ingat namaku, nama yang disebut oleh Kakakmu saat dia merenggut kesucianku, Zhea Maheswara,” kata Zhea dengan tenang.
Wajah Rubby mendadak mengeras, kakinya pun hendak melangkah dan menjambak rambut Zhea, tetapi dengan cepat Elang menahan pergelangan tangan Rubby.
“Heh, Pelakor! Gue berharap suatu saat nanti, pasangan lo direbut sama orang lain!” kata Rubby pada akhirnya.
Namun, lagi dan lagi Zhea tersenyum. “Kata itu adalah doa, Rubby Pradivta. Jika kamu mengatakan hal buruk pada orang lain, tanpa kamu sadari itu akan menjadi doa untukmu juga.”
Zhea tersenyum lagi, tanpa menunjukkan keterpurukan, binar matanya pun terlihat tenang. “Saya pamit, semoga di masa depan saya tidak akan pernah bertemu kalian lagi,” ucapnya tenang, lalu melirik lelaki di samping Rubby. “Jaga adikmu sebaik mungkin, semoga dia tidak berakhir seperti saya.”
Usai berucap, Zhea melangkah dengan keyakinan penuh, tanpa berbalik lagi. Namun, tanpa orang lain tahu, seketika itu juga air matanya jatuh. Rasa sesak yang dia tahan saat berhadapan dengan Elang, akhirnya keluar juga.
Kamu kuat, Zhe. Kamu nggak lemah. Jangan biarkan kamu ditindas lagi. Yakinnya dalam hati, sembari menyeka bulir duka yang membasahi pipinya.
***
Usai mengantar Rubby ke sekolah dan tak sengaja melihat Zhea yang telah dikeluarkan dari sekolah, Elang langsung kembali ke markas. Bertemu dengan anggota gang motornya, sedikit menghilangkan perasaan tak enak di hatinya.
Ya, tanpa adiknya sadari, pun orang lain tahu, perkataan Zhea yang terakhir tadi cukup menyenti hatinya. Dia tidak akan menutup mata, jika karma pasti akan ada. Namun, dia akan pastikan sebelum hal itu terjadi, dia yang akan menjadi tameng untuk adiknya.
"Kenapa muka lo kusut, Brader?" Razka yang baru saja keluar dari kamar kecil, langsung menepuk pundak Elang, dan duduk di kursi yang berada di depan Elang.
Elang tak langsung menjawab, dia menyesap terlebih dahulu cerutu yang baru saja dibakar, kemudian berkata, "Gue ketemu gadis itu di sekolah saat antar Rubby."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG CAKRAWALA
Dla nastolatkówFOLLOW DULU BARU BACA🔪 Follow IG: @astrisd_official FB: Author Astrisd *** "Ternyata lo masih perawan. Gue pikir perempuan seperti lo seperti sampah jalanan!" ujar Elang sarkastis. *** "Sama seperti slogan gang motormu. Darah dibayar darah. Nyawa d...