☠︎ᴄ ʜ ᴀ ᴘ ᴛ ᴇ ʀ 20 - Pelayan Cafe

25K 1.3K 321
                                    

Zhea duduk termenung di kursi dapur sambil memangku wajah dengan dua tangan di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Zhea duduk termenung di kursi dapur sambil memangku wajah dengan dua tangan di atas meja. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu bersama lelaki yang telah melecehkannya satu tahun silam. Rasanya begitu malas jika kembali bertemu dengan lelaki bajingan itu lagi, tetapi entah bagaimana takdir kembali menyeret dirinya kembali.

"Kehidupan kita di dunia, tidak ada yang disengaja. Semuanya sudah di takdirkan sang maha kuasa. Termasuk, kita." Kata-kata Elang tempo lalu, masih terngiang, dan Zhea tentu sadar akan hal itu.

Jika diingat kembali, mungkin semua adalah takdir, dari kehadiran Rubby di sekolah. Namun, bagi Zhea itu semua adalah kesialan yang amat sangat ingin dihindari.

'Apa aku pindah sekolah lagi?' monolognya dengan perasaan bingung. 'Tapi, sekolah tinggal beberapa bulan lagi menuju kelulusan. Ibu juga kasihan kalau mesti keliling nyariin aku sekolah baru.' Zhea semakin bingung. Semua terasa buntu menghadapi situasi pelik ini.

"Duh, anak perawan nggak boleh suka melamun. Nanti, kesambet jin iprit loh." Mia, salah satu karyawan cafe, menepuk pelan pundak Zhea, sehingga kesadaran Zhea pun teralihkan seketika.

Zhea tersenyum canggung menatap Mia yang sedang menuangkan air minum di gelas. 'Anak perawan? Mungkin, kata-kata itu berlaku untuk Kak Mia, bukan untuk aku.'

"Kamu kenapa sih, Zhe? Ada masalah?" Mia kembali bertanya setelah meneguk segelas air.

Zhea lantas menghela napas, lalu menggeleng cepat. Dia bukanlah tipe orang yang terbuka dengan masalah pribadinya dengan siapa pun termasuk pada Kafka.

"Atau kamu nggak enak badan?" tebak Mia lagi, dan kontan saja langsung dijawab Zhea dengan gelengan kepala lagi.

"Aku nggak apa-apa, Kak. Emm, cuma ingin diam aja, sambil mikirin masa depan. Hehehe." Senyum lebar bak iklan Pepsodent Zhea tunjukkan, sebagai arti dia sedang baik-baik saja.

Refleks saja Mia memukul lengan Zhea pelan. "Masa depanmu nggak perlu dipikirkan lagi, kan sudah ada di depan mata," ucapnya seraya mengedipkan sebelah mata, genit. Tujuannya menggoda Zhea yang notabene pacar dari anak pemilik cafe.

Namun, Zhea tentu tidak paham. Karena status Kafka begitu rapat disembunyikan.

"Paan sih, Kak. Di depan mata gimana? Kerja di cafe ini maksusdnya?" Zhea mencebikkan sudut bibirnya, dan kembali berkata, "Kerja itu kebutuhan, sedangkan masa depanku membahagiakan ibu, dan adik-adikku adalah kewajiban."

"Emang adikmu banyak?" Baru kali ini Mia cukup tertarik dengan kehidupan Zhea yang sangat tertutup.

"Heum ... adikku banyak sekali," jawabnya singkat, seraya bangkit dari tempatnya duduk. "Udah ya, Kak, aku ke toilet dulu." Tanpa menunggu jawaban Kakak seniornya, Zhea segera menuju ke toilet khusus karyawan dekat dapur.

Mia yang paham dengan sifat tertutup Zhea pun memilih untuk tidak banyak mencari tahu, dan kembali ke meja kasir di mana dia berjaga di sana bersama rekannya yang lain.

ELANG CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang