“Kak, please, jangan tinggalin aku di sini,” pinta Rubby memohon, suaranya terdengar gemetar. Jari-jarinya yang penuh luka memar berusaha meremas jaket Elang.
“Tunggu, sebentar aja, Dek. Kakak pasti kembali.”
“Gak mau, Kak ....” Rubby kembali menggelengkan kepala, air matanya semakin deras mengalir.
“Kakak janji, pagi ini Kakak sudah datang ke rumah sakit.” Dengan lembut Elang melepaskan jari Rubby dari bajunya. Lalu mengecup kening adiknya dengan sangat lama.
Setetes air mata Elang, jatuh di wajah Rubby. Sementara gadis dalam dekapan Elang, menangis tanpa suara.
Tidak ingin membuang waktu, Elang bergegas melangkah, membiarkan sang adik menangis tanpa berbalik kembali.
Setibanya di luar IGD, Elang menarik napas panjang sembari memejamkan mata. Dia tak ingin lemah karena tangisan Rubby. Untuk kali ini dia akan memperjuangkan keadilan untuk adik dan anggotanya.
Elang melirik arloji di pergelangan tangannya, waktu masih menunjukkan pukul setengah empat pagi, masih ada sedikit waktu menjenguk Zhea, mengingat dia membawa Rubby di rumah sakit yang sama.
Dia berbalik sejenak, menatap pintu IGD yang tertutup rapat, kemudian melangkah tergesa-gesa menuju ICU. Ketika sudah mendekat, Elang memperlambat langkahnya agar tak mengejutkan Bu Dina yang terlelap di sofa ruang tunggu.
Suasana area ICU pun, tampak sepi. Sepertinya petugas medis memang sedang istirahat. Tak membuang waktu, Elang bergegas masuk ke dalan ICU mengendap-endap bak maling. Namun, ketika mendekati ranjang Zhea, Elang justru terpaku di tempat.
Untuk pertama kali, semenjak Zhea selesai operasi, dia melihat kondisi Zhea yang sebenarnya. Tubuh Zhea dipenuhi alat penunjang hidup, yang membuatnya meringis melihat.
"Zhe," sapa Elang dengan lirih. Sengaja dia tak memilih cepat berdiri. "Bangunlah. Kamu pernah bilang ingin melihat kehancuranku, dan juga kehancuran Rubby."
"Impianmu tercapai, Zhe ...." Elang menarik napas berat sejenak. Tangannya meremas pinggiran ranjang.
"Aku tidak menyalahkanmu. Aku pun, andil menyakitimu. Tapi, hukuman yang diterima Rubby melebihi apapun."
Elang menengadah sejenak, mencoba menahan bulir bening yang akan terjatuh. Embusan napasnya terdengar kasar, sebelum akhirnya dia kembali menunduk.
"Jika kamu terbangun nanti, aku harap dendammu telah usai. Jika pun, kamu masih dendam, biar aku yang menebusnya. Jangan Rubby ...,' ucapnya lirih.
" Aku pamit, ya, Zhe. Maaf aku gak bisa menunggumu bangun. Aku juga belum meminta maaf dengan benar padamu." Elang mengulurkan tangan memegang tangan Zhea yang terpasang alat medis.
"Aku pamit, Zhe ...."
Sekali lagi Elang mengelus tangan Zhea, sebelum dia memutuskan untuk keluar, dan mungkin ini menjadi pertemuan terakhirnya dengan Zhea.
**
Usai melakukan semua tugasnya di rumah sakit, Elang memutuskan untuk kembali ke tempat terjadinya pemerkosaan sang adik. Darahnya berdesir, jiwa membunuhnya semakin membuncah. Tak peduli jika haru ini nyawanya menjadi taruhan, yang terpenting hari ini dendamnya terselesaikan.Namun, sebelum kembali ke jembatan itu, terlebih dahulu dia singgah ke rumah mengambil pisau lipat, dan stok peluru.
Elang sangat yakin, orang-orang ditembak itu masih berada di sekitar sana, mengingat korban yang terluka bukan hanya satu orang.
Mobil sport Rubicorn hitam, melaju kencang memecah jalan raya yang masih diselimuti kegelapan malam. Hanya semburat cahaya bulan, dan taburan bintang yang kini menyoroti lajunya mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG CAKRAWALA
Teen FictionFOLLOW DULU BARU BACA🔪 Follow IG: @astrisd_official FB: Author Astrisd *** "Ternyata lo masih perawan. Gue pikir perempuan seperti lo seperti sampah jalanan!" ujar Elang sarkastis. *** "Sama seperti slogan gang motormu. Darah dibayar darah. Nyawa d...