FOLLOW DULU BARU BACA🔪
Follow IG: @astrisd_official
FB: Author Astrisd
***
"Ternyata lo masih perawan. Gue pikir perempuan seperti lo seperti sampah jalanan!" ujar Elang sarkastis.
***
"Sama seperti slogan gang motormu. Darah dibayar darah. Nyawa d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Konon katanya, malam yang sunyi adalah waktu untuk menenangkan diri dari keriuhan siang hari. Namun, nyatanya malam saja yang terlihat sunyi, tetapi isi kepala terasa sangat berisik.
Seperti itu yang kini dirasakan gadis cantik berwajah manis, dan tak pernah bosan kala memandang. Zhea Meheswara. Sedari tadi, dia hanya duduk di depan kontrakannya, menatap langit yang gelap tanpa adanya bulan, atau bintang. Mungkin saja hujan akan turun.
Tak peduli akan dinginnya yang menusuk kulit, Zhea semakin mengeratkan sweater di tubuhnya. Pikirannya melanglang buana, mengingat kembali kejadian di cafe tadi.
Zhea lantas menghela napas, tanpa mengalihkan pandangan matanya dari langit.
“Entah apa tujuan Rubby berinisiatif mentraktir anak basket. Apa dia mau nyari simpati orang-orang?” gumamnya pelan. Detik kemudian dia menggeleng cepat. “Semoga aja apa yang kupikirkan hanya sekadar ketakutan saja.”
“Tapi ....” Overthingking mulai mengusai perasaannya. Sekeras apa pun Zhea mencoba meyakinkan hatinya, secuil ketakutan terbesit di benak.
“Aku nggak tahu lagi harus gimana, Kaf. Aku takut, tapi aku gak bisa katakan sama kamu,” gumamnya frustrasi.
Zhea kembali mendesah kasar. Kemudian memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding kamar. Membiarkan angin dingin menerpa wajahnya. Namun, kenikmatan tersebut tidak berlangsung lama, tatkala mendengar suara dering ponsel di sampingnya.
Mata Zhea terbuka, dan meraih benda pipih tersebut. Keningnya langsung berkerut saat melihat nomor baru dari sang pemanggil. “Siapa?” gumamnya tak sadar.
Dia lantas mengangkat, takutnya dari panti asuhan.
“Ya, selamat malam.”
“Malam, Zhea.”
Mendengar balasan dari ujung telepon, spontan mata Zhea terbelalak, bulu kuduknya berdiri. Dari suara pun, dia tahu itu adalah Elang. Zhea kembali menatap layar ponsel, dan bersiap mematikan. Namun, kata-kata Elang kembali menghentikan jemarinya.
“Jangan coba matikan teleponnya, Zhea. Jika sampai itu terjadi, dalam waktu 10 menit aku akan berada di kontrakanmu,” ancam Elang. Seakan tahu jika Zhea berniat memutuskan telepon, membuat Zhea tercengang dengan mulut sedikit terbuka.
“Kamu belum tidur?” tanya Elang kemudian. Namun, mulut Zhea seakan terkunci hanya untuk menjawab satu kata.
“Zhea ... kamu dengar aku, kan? Jawab jika kamu men—“
“Aku tidak perlu menjawab pertanyaan tak berbobot dari Anda!” sela Zhea terdengar sarkas.
“Oh, pertanyaanku kurang berbobot, ya?” Zhea langsung memutar bola matanya, mendengar suara Elang yang sangat menyebalkan.
“Aku ganti pertanyaanku. Kapan kamu putuskan pacar kamu itu?” Elang terdengar menjeda perkataannya. Tanpa diketahui Elang, jika Zhea tengah melotot tak percaya. “Aku nggak suka lihat kamu dengan dia. Kamu itu milikku, Zhe. Aku yang pertama kali se—“