☠︎ᴄ ʜ ᴀ ᴘ ᴛ ᴇ ʀ 15 - Trauma

29.3K 1.6K 191
                                    

Jemari lentik wanita cantik itu begitu lihai mengisi beberapa soal tugas sembari mencari kunci jawaban di dalam buku yang baru saja siang tadi dipinjam di perpustakaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jemari lentik wanita cantik itu begitu lihai mengisi beberapa soal tugas sembari mencari kunci jawaban di dalam buku yang baru saja siang tadi dipinjam di perpustakaan. Cukup sulit, karena materi pembelajaran anak kelas 12 tentu saja berbeda saat masih berada di kelas 10 ataupun kelas 11.

Zhea membuang napas sambil meletakkan alat tulisnya di atas buku. Kemudian meraih gelas susu di sampingnya yang tidak lagi terasa panas. "Kenapa soalnya susah amat sih? Dari tadi mutar-mutar, belum juga nemuin jawabanya," keluhnya setelah meyesap minumannya. Bahkan gelas pun, masih di genggamanya. "Ahh ... rasanya pingin cepat-cepat lulus. Biar bisa fokus kerja, dan bantuin ibu," lanjutnya bergumam.

Setelah puas menikmati beberapa sesapan susu, Zhea kembali melanjutkan tugas sekolahnya mengingat waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, saat baru saja memegang pena bertinta hitam itu, suara dering ponsel mengalihkan penuh atensinya.

Gegas dia raih benda pipih yang berada tak jauh dari tumpukan buku-buku pelajaran dengan kerutan di kening. Namun, sedetik kemudian sudut bibirnya tertarik begitu manis, saat melihat nama My Kapten yang tertera di layar. Tanpa menunda lagi, Zhea langsung mengangkat, seraya tersenyum manis.

"Tumben nelepon malam-malam gini." Tanpa berbasa basi, Zhea langsung memberikan sindiran. Pasalnya, Kafka hampir tidak pernah menghubunginya larut malam seperti ini. Sleep call, seperti pacaran pada umumnya, tidak pernah mereka lakukan.

"Tumben nggak nih." Kafka terkekeh kecil di ujung telepon. "Kamu lagi apa, Sayang?" tanya Kafka kemudian.

"Aku lagi belajar. Tugas sekolah numpuk banget," keluh Zhea sambil menatap kertas cakaran yang beserakan di depan mata.

"Capek, ya?"

"Dikit."

"Mau dipeluk nggak?"

Zhea yang semula cuma tersenyum malu, spontan saja tertawa nyaring, dan langsung diredam dengan telapak tangan.

"Kok tertawa sih?" Suara Kafka kembali terdengar tanpa rasa bersalah. "Aku kan cuma nawarin. Siapa tahu mau dipeluk."

"Nggak. Aku nggak mau! Kita belum halal, udah mau peluk-peluk," tolak Zhea mentah-mentah. Namun, perkataan serius Zhea sontak mengundang gelak tawa dari ujung telepon. Sedangkan Zhea hanya memutar bola mata dengan malas.

"Ya udah besok aku bawa Mama, Papaku ke rumah ibumu. Buat lamar kamu. Kita nikahnya besok aja, biar besok meluk kamu udah halal," ucap Kafka diselingi kekehan.

Mata Zhea spontan membola. "Kamu aja yang nikah sama bantal! Aku ogah nikah muda!" Tegasnya berkata.

"Bantal mah, udah tiap hari aku tidurin. Cuma ... impian aku tetap kamu. Kamu mau kan besok kita nikah"

"Ogah! Kamu ngajak nikah, kaya ngajak beli seblak aja." Zhea bersungut kesal, meski dia tahu Kafka hanya bercanda, tetapi dia ingin menegaskan jika dirinya menolak pernikahan dini.

ELANG CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang