Ch. 2 - Utopia

571 70 1
                                    

Note : Mengandung spoiler 'Lord of Mysteries' chapter 1328.
______________________________________

Seperti yang dikatakan Kurt, Naib mengajak Klein dan Dokja ke alun-alun kota jam 10 pagi.

Matahari sudah bersinar terang namun udara belum terlalu panas seperti siang hari. Orang-orang berkumpul di alun-alun, mengobrol, bermain, bercanda, dan tertawa.

Mereka bertiga duduk di pinggir alun-alun, di tempat yang terlindungi dari sinar matahari.

Beberapa orang berkumpul di tengah alun-alun sambil membawa alat musik. Mereka mulai memainkan alat musik dan berjalan.

Seseorang datang pada mereka dan duduk di sebelah Klein lalu tersenyum. Seorang gadis dengan rambut coklat dan mata hijau.

"Itu pawai musik. Kami biasa melakukannya ketika hari libur. Pawai ini adalah ungkapan rasa syukur dan cinta karena dapat menjalani hidup dengan baik. " Jelas gadis itu.

"Oh, aku Emma! Itu Anderson dan Edgar. Mereka pelukis di kota ini."

Di samping alun-alun ada dua orang pelukis yang membawa kanvas dan melukis dengan damai.

"Apakah kalian sudah mencoba Fizzling Ice Tea? Itu minuman khas kota ini! Kau bisa mendapatkannya di Hotel Iris, aku bisa membawamu ke sana jika mau!" Emma berbicara dengan nada riang, bertanya dengan mata berbinar pada Klein.

"Ah.. iya, lain kali."

Gulp

Semakin banyak mendengar tentang kota ini, Klein menjadi semakin yakin. Pikirannya kemarin terbukti benar. Ini bukanlah kota kecil biasa pada umumnya.

Tap tap tap tap tap

Anak-anak berlari kesana kemari, mengejar satu sama lain.

"... Ngomong-ngomong, apa nama kota ini..?"

Saat Naib akan menjawab, perkataannya dipotong oleh Emma.

"Kota Ut--"

"Utopia, Kota Utopia!"

Bruk

Seorang anak yang lari tergelincir, lututnya menyeret tanah dan terluka. Anak-anak yang lain menghampiri, menenangkan anak itu agar tidak menangis.

Klein diam, menggigit pipi dalam mulutnya.

Luka di lutut anak itu cukup parah, namun... tidak mengeluarkan darah setetes pun.

Naib dan Emma juga menghampiri anak itu, khawatir. Sedangkan Klein dan Dokja tetap duduk di tempat.

Klein menggenggam tangan Dokja dengan erat.

"Dokja, nanti sore kita akan pergi dari kota ini." Bisik Klein.

"... Kenapa, kak?"

"Di sini.. kita tidak boleh berada di sini terlalu lama."

Walaupun tidak mengerti, Dokja tetap mengangguk setuju. Ia tahu kalau keputusan Klein tidak pernah salah.

"Aku berharap ada kota yang cocok untuk lima ribu orang di sini."

Kalimat yang dulu pernah Klein lantunkan bergema di telinganya.

Kenapa...

Sebuah kota kecil yang damai dengan satu Gereja sebagai satu-satunya agama di sana. Fasilitas umum yang lengkap, juga orang-orang yang hidup di sana dengan kehidupan sempurna.

Kenapa kota ini ada disini?

Kehidupan yang sangat mirip dengan kehidupan manusia asli.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang