"Apa kamu tidak kepengen menikah lagi? Sudah dua tahun sejak bercerai dengan perempuan itu, seharusnya kamu sudah bisa melupakannya." Hani meraih tangan Sean, putra semata wayangnya itu, lalu menggenggamnya erat.
"Aku baik-baik saja. Sekarang hanya pengen fokus mengurus Ibu. Lagian, Ibu kan nggak pernah suka sama perempuan pilihanku." Sean tersenyum getir dan balas menggenggam tangan ibunya yang terasa rapuh.
"Ibu hanya nggak suka sama mantan istrimu itu. Memangnya kamu pernah ngenalin Ibu sama perempuan yang kamu suka setelahnya? Nggak ada, kan?" gerutu Hani.
Sean tak menjawab, karena setelah bercerai dengan Gladys, dia memang tidak tertarik menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Seluruh hatinya sudah dibawa pergi oleh sang mantan setelah hakim mengesahkan perceraian mereka.
"Udah saatnya kamu membuka hati untuk perempuan lain, Sean."
Sean terdiam. Bagaimana bisa membuka hati lagi, kalau dia masih belum bisa melupakan Gladys? Namun, ibunya tak perlu tahu, karena hanya akan memancing perdebatan dan nasehat sepanjang gerbong kereta api yang sudah dihapal Sean luar kepala.
"Sudah, ya, Bu. Nggak usah bahas-bahas tentang masalah ini lagi. Sekarang aku di sini buat nemanin Ibu makan siang, bukan buat bahas perempuan." Sean sengaja memotong pembicaraan, karena tidak ingin merusak pertemuan mereka hari ini.
"Kita tunggu Jelita dulu, baru makan siang sama-sama."
"Memangnya Ibu janjian sama Lita?"
"Ibu ngundang dia makan siang, karena Ibu pikir kamu nggak bisa pulang siang ini."
"Kan, udah kubilang kalau urusanku di kantor udah longgar jadi bisa makan siang sama Ibu."
"Ya, nggak apa-apa, kan, Lita gabung sama kita? Toh kamu juga sudah lama nggak ketemu sama dia."
Sean hanya bisa menghela napas panjang, tak ingin mendebat Hani lagi. Meski dia tidak terlalu menyukai gagasan ibunya itu untuk mengajak Jelita bergabung bersama mereka. Bukannya apa-apa, tapi kejadian seperti ini sudah sering berulang. Sean menaruh curiga kalau Hani sengaja menciptakan momen agar Jelita terlibat dalam setiap kebersamaan mereka.
"Lita ditawari ngajar di kampusnya, lho. Tapi, dia bilang masih ragu karena pengen fokus mengurusi toko bunga," lanjut Hani dengan mata berbinar-binar. Tiap kali membicarakan Jelita rona bahagia memancar jelas dari wajahnya.
"Aku yakin, dia bukannya ragu, tapi pasti merasa nggak enak ninggalin toko karena sungkan sama Ibu," goda Sean.
Dia tahu, ibunya sangat menyayangi Jelita, anak dari mendiang Mbok Sarti, pembantu mereka dulu. Setelah Mbok Sarti meninggal, Jelita sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Hani. Saking sayangnya, tanpa sadar Hani menjadi tergantung pada gadis itu. Menyerahkan seluruh urusan toko bunga yang dirintisnya sejak puluhan tahun silam, hanyalah salah satu cara Hani membuat Jelita selalu berada disisinya.
"Ibu nggak pernah maksa dia untuk ngurus toko selamanya. Dia bebas bekerja di mana saja dia suka, asal masih di kota ini dan nggak jauh-jauh dari Ibu."
Sean hanya geleng-geleng. Sejak kematian ayahnya dan kesehatan ibunya menurun, Sean memang lebih memilih untuk tak banyak berdebat dan berbantahan lagi dengan ibunya. Terakhir kali dia bertengkar, saat pernikahannya dengan Gladys berada di ujung tanduk, karena Hani suka ikut campur. Akibatnya cukup fatal, Hani terkena serangan jantung, sedangkan Gladys tetap dengan keputusannya untuk bercerai.
"Aku udah mencoba bersabar dengan ibumu, tapi sekarang aku udah nggak sanggup lagi, Sean. Tolong lepaskan aku. Mari kita berpisah!" Seolah baru kemarin kalimat itu memukul telak hati Sean.
Keputusan Gladys tidak bisa ditawar. Perempuan itu sangat teguh dengan pendiriannya. Meski Sean sudah memohon agar istrinya itu bersabar sedikit lagi, menunggu hati ibunya melunak dan mau menerima Gladys dengan tangan terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...