Aturan kencan pertama yang Sean tahu adalah menentukan tempat terlebih dahulu, karena biasanya perempuan akan mengatahkan "terserah" kalau ditanya mau ke mana. Namun, kasusnya dengan Jelita bukan kencan sungguhan, ajakan yang dilontarkannya tadi pagi juga spontan saja, sehingga Sean sedikit kebingungan ketika mereka sudah sama-sama berada di dalam mobil.
"Kamu mau makan apa, Ta?" Pertanyaan itu dia lontarkan saat memasang sabuk pengaman. Lebih baik bertanya lebih dulu daripada dia langsung memutuskan mau ke mana.
"Saya ... terserah saja, sih, Mas."
Sean tersenyum kecil. Jawaban yang keluar dari mulut Jelita, persis seperti yang sudah dia duga sebelumnya.
"Kamu nggak ada kepengen makan apa gitu?"
Sean yang tiba-tiba mengajak makan siang saja sudah membuat Jelita kebingungan setengah mati, tambahan lagi dimintai pendapat untuk makan apa. Sejak kecil dia sudah terbiasa memakan menu apa pun asal murah dan mengenyangkan. Mendiang ibunya selalu mengajari untuk hidup sederhana, jadi dia tak punya kemewahan untuk bisa memilih-milih makanan. Tanpa disadari kebiasaan itu mendarah daging hingga dia dewasa.
"Nggak ada. Saya bisa makan apa saja, Mas," ucapnya kemudian.
Benaknya masih dipenuhi tanya, kenapa Sean memintanya untuk menemani makan siang? Tidak mungkin lelaki itu mencoba mendekatinya seperti godaan Tika tadi, kan? Tanpa sadar Jelita bergidik sambil mengembuskan napas panjang. Impossible!
Apa jangan-jangan ini berhubungan dengan Golden Florist? Beberapa waktu lalu, Hani memang pernah mengatakan, kelak kalau dia meninggal, ingin mewariskan toko itu pada Jelita, yang tentu saja ditolak oleh gadis itu. Dia tidak ada hubungan darah dengan Hani. Orang yang berhak mewarisi, tentu saja Sean sebagai anak kandungnya.
'Ya, pasti Mas Sean ingin membahas itu!' pikir Jelita. Meski Sean tidak akan kekurangan harta benda selama beberapa generasi ke depan, karena perusahaan ayahnya saja sudah bernilai sangat besar, tapi soal uang, orang bisa saja serakah. Toko milik Hani mungkin memang tak sebanding dengan perusahaan milik mendiang suaminya, tapi tetap saja bangunan tersebut bernilai tinggi. Apalagi lokasinya yang sangat strategis.
Jelita semakin larut dengan pikirannya sendiri. Dia akan meyakinkan Sean, kalau toko tersebut akan jatuh ke tangan yang berhak, yaitu putra kandung Hani sendiri. Sean tak perlu khawatir padanya. Karena selama ini, dia hanya mengelola saja, tidak ada niat untuk menjadikan toko tersebut sebagai hak miliknya.
"Oke, kita makan di Namaaz aja kalau gitu," ucap Sean akhirnya.
Dia membawa Jelita ke sebuah restoran fine dining terdekat. Berlama-lama terjebak keheningan di dalam mobil, sungguh tidak nyaman bagi mereka berdua. Lelaki itu diam-diam mengeluh dalam hati, mengapa harus sesulit ini untuk membuka obrolan kasual dengan Jelita, padahal mereka sudah saling mengenal selama dua puluh tahun.
Belakangan, Sean menyadari, meski sudah lama kenal, tapi tidak pernah sekali pun dia benar-benar mencoba akrab dengan gadis itu. Bahkan sejak pertama kali Jelita hadir di rumahnya, Sean memilih untuk tidak peduli. Menjadi anak tunggal di mana semua perhatian dan kasih sayang orang tuanya hanya berpusat pada dirinya selama dua belas tahun, lalu tiba-tiba saja perhatian itu terbagi sejak Jelita hadir dalam hidup ibunya, bukan hal yang menyenangkan bagi Sean. Namun, dia tidak pernah protes karena merasa itu akan terlihat konyol. Lagipula lawannya tidak seimbang. Hanya anak pembantu, masih kecil dan berjenis kelamin perempuan pula. Tidak bisa dianggap sebagai saingan yang akan membuat eksistensinya terancam, meski dia juga belum bisa menerima Jelita dengan hati terbuka seperti ibunya.
Perasaan itu mengakar begitu kuat hingga dia dewasa. Apalagi mereka memang jarang berinteraksi. Saat Sean SMP sampai SMA dengan kegiatan yang full, Jelita baru masuk SD. Mereka jarang bertemu kecuali di beberapa kesempatan saat hari libur sekolah atau Jelita kebetulan ikut ibunya ke rumah Hani.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...