DUA PULUH SATU b

499 45 9
                                    


"Nggak, salah, kok," katanya setelah terdiam cukup lama. "Saya memang sedang emosi, tapi bukan pada Mbak Linda."

"Terus emosi pada siapa?" tanya Sean keheranan. Kalau dia jadi Jelita, dia pasti sangat marah pada Linda yang sudah meremehkan dan mempermalukannya di depan banyak orang seperti siang tadi. 

"Saya .... hanya marah dan kecewa sama diri saya sendiri," ucapnya nyaris berbisik. 

"Kenapa?" Sean sangat penasaran dengan jawaban Jelita yang berada di luar prediksinya itu.

Gadis itu lagi-lagi terdiam. Tidak mungkin dia mengatakan betapa menyedihkannya hidup dengan mental babu dan tingkat percaya  diri yang rendah seperti dirinya. Terkadang dia sangat ingin terbebas dari belenggu itu, tapi tiap kali dia mencoba, seperti ada tangan raksasa tak kasat mata yang menyeretnya kembali.

Dia sempat terpancing dan bereaksi saat Linda menghina ibu yang sangat dicintainya, tapi ketika kesadaran mengambil alih, dia kembali menjadi Jelita yang pengecut. 

"Oh, bukan apa-apa, kok. Saya ...  hanya sedikit melantur."

Sean tahu Jelita sengaja menghindar, dan dia tidak ingin mendesak gadis itu lebih jauh. Mereka belum sampai pada tahap saling nyaman untuk bercerita tentang perasaan terdalam. Dia tidak ingin Jelita merasa risih dengan rasa ingin tahunya yang besar.

"Oh, ya. Kalau boleh tahu Linda bilang apa sampai kamu ngasih tendangan ke dia? Pasti sesuatu yang menyakitkan, karena aku yakin kamu bukan orang yang gampang marah."

Melihat Jelita hanya diam saja, lelaki itu terus berucap, "Aku dan Ibu, tahu persis gimana Linda. Apa dia bilang sesuatu yang buruk?"

"Seharusnya saya nggak terpancing. Toh, saya sudah kebal dengan semua omongannya tentang saya. Hanya saja, saya lepas kendali saat dia menghina mendiang Ibu." Jelita tidak ingin terdengar seperti si Pengadu, tapi dia tahu Sean tak akan berhenti kalau belum menemukan jawaban yang memuaskan.

"Wajar banget kamu marah. Linda benar-benar keterlaluan!" 

"Tolong nggak usah bilang Ibu, ya, Mas. Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya saya lebih marah pada diri saya sendiri, kenapa terpancing dan nggak bisa menahan diri. Toh, ucapan buruk siapa pun pada Ibu, tidak akan mengubah citra dirinya yang sebenarnya. Saya kecewa pada diri saya sendiri yang terlalu mudah emosi."

Jelita mengusap wajahnya berkali-kali, tampak sangat gundah. Bahunya yang kecil, tenggelam di balik Dobok (baju yang biasa dipakai untuk latihan Tae Kwon Do) yang dikenakkannya. Gadis itu tampak kuat sekaligus rapuh pada saat bersamaan. 

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Ta," kata Sean simpati. 

Dia bisa membayangkan betapa sulitnya kehidupan yang dijalani gadis itu. Kehilangan ibu tepat dua minggu sebelum kelulusan SMA, bukanlah hal yang mudah. Dia masih ingat cerita Hani, yang datang menghadiri acara kelulusan Jelita dan sempat memberi kata sambutan sebagai wali murid dari lulusan terbaik saat itu. Ibunya yang memang berhati lembut dan mudah terenyuh, menangis saat bercerita padanya di telepon. 

"Ibu kasian banget sama Lita. Di hari bahagianya sebagai murid terbaik, ibunya nggak bisa melihatnya. Yang bikin ibu tambah sedih, dia nggak nangis sama sekali. Anak itu pintar menyembunyikan kesedihan. Padahal menurut Ibu, nggak apa-apa sesekali menangis dan mengeluarkan emosi, daripada dipendam sendirian." 

Waktu itu Sean hanya mendengarkan saja curhatan Hani, sementara tangannya sibuk dengan keyboard komputer. Kisah sedih ala drama-drama di televisi yang diceritakan sang Ibu tidak menarik minatnya. Anehnya, setelah tujuh tahun berlalu, dia tiba-tiba mengingat dengan jelas semua kata yang diucapkan Hani kala itu. 

"Saya nggak keras pada diri sendiri. Saya hanya kecewa dan marah karena nggak bisa menjalankan amanat ibu saya."

"Amanat apa?"

Jelita memilih untuk tidak menjawab. Sean tidak akan mengerti kalau ada hukum tak tertulis yang harus dipatuhi oleh orang-orang sepertinya. Darah pelayan yang berasal dari ibunya tidak bisa dinafikan begitu saja. Cara dia dididik dan melihat dunia, tidak sama dengan cara Sean dididik. Dijelaskan pun percuma, karena mereka berada di dunia yang berbeda.

"Oh, ya, saya lupa menawari Mas Sean minum. Mas mau minum apa?" Gadis itu buru-buru bangkit tidak ingin memperpanjang obrolan. 

"Sebenarnya saya pengen makan masakan kamu kayak waktu itu," kata lelaki itu sambil menatapnya dalam-dalam.

"Hah?" Diamati seperti itu, Jelita jadi gugup sendiri.

"Tapi, sayangnya udah malam," lanjutnya sambil melirik arloji yang menunjukkan pukul delapan lewat. "So, lain kali bisa, ya?"

Jelita masih kesulitan menganalisa maksud kedatangan Sean yang tiba-tiba seperti ini. Lelaki itu tak terduga. Terkadang sikapnya membuat Jelita salah tingkah sendiri, untuk kemudian dia menghilang begitu saja setelah berhasil mencuri nyenyak tidurnya karena memikirkan berbagai kemungkinan. Kali ini Jelita tidak ingin lagi terperdaya.

Sean ikut bangkit sambil mengibaskan celananya, sebelum kemudian berkata, "Lain kali jangan mudah diintimidasi lagi sama Linda dan gampang meminta maaf oleh sesuatu yang bukan sepenuhnya kesalahanmu."

"Baik, Mas," ucapnya patuh, meski sangat sadar kalau hal itu tidak mudah dilakukan. Tapi tak ada gunanya berdebat dengan Sean sekarang.

"Aku dengar dari Ibu kamu sekarang udah kerja kantoran, ya?"

"Iya, Mas."  

"Selamat, ya. Ngomong-ngomong, ini ada sesuatu buat kamu!" Sean mangambil paper bag berisi tas yang dia taruh di dekat pot selada. 

"Ini apa, Mas?" tanya Jelita keheranan. 

"Aku nggak tahu hadiah apa yang cocok untuk orang yang baru saja diterima bekerja, so, aku milih tas aja. " Lelaki itu mengusap tengkuknya sambil tertawa kecil. 

"Aku juga nggak tahu persisi seleramu gimana, jadi aku minta pilihkan saja sama pelayan di tokonya. Dia bilang, tas ini sangat cocok untukmu yang sederhana, praktis dan pekerja keras. Semoga kamu suka."

"Terima kasih banyak, Mas. Seharusnya Mas nggak usah repot begini," ucapnya saat menerima tas tersebut. Rasa haru menyeruak di dalam hatinya. Cara Sean menggambarkan bagaimana dirinya membuat  gadis itu tersentuh. 

Saat Sean pamit dan tubuhnya yang tinggi dan tegap itu menghilang di balik pintu penghubung, Jelita masih terpaku di tempat semula. 

Hingga akhirnya, setelah dia masuk ke dalam, Jelita terus mensugesti diri agar tidak terperdaya seperti yang sudah-sudah. Sean peduli padanya, karena lelaki itu mewarisi kebaikan ibunya. Bukan ada maksud lain. Gadis itu terus menanamkan keyakinan tersebut di alam bawah sadarnya. Namun, meski sudah berusaha keras, tapi tetap saja, dia sulit memejamkan mata malam ini. Angannya mengembara tak tentu arah. Indah sekaligus menakutkan. 

-tbc-

Mau gimana ya, Ta. Mas Duda sikapnya kadang meresahkan 🤭

🍁🍁🍁

Cerita ini sudah tamat di aplikasi kbmapp dan Karyakarsa ya

Bisa juga dibaca di grup telegram berbayar dg harga lebih hemat. Sila kontak ke 0811667783 ❤️











  



































CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang