"Barengan aja sama Sean, ya! Kan kantornya searah sama kamu. Ayo, Sean!" Hani setengah memaksa. Dia berpikir memang sudah saatnya turun tangan, agar kedua anak yang disayanginya itu bisa dekat, alih-alih selalu merasa canggung seperti sekarang ini.
"Mau langsung balik ke toko? Ya, udah barengan aja," timpal Sean berbasa-basi pada Jelita. Apa boleh buat, walau agak sebal dengan ide ibunya itu, tapi dia juga tidak ingin terlihat seperti lelaki bajingan yang tak punya hati.
"Maaf, Mas Sean jadi repot," ucap gadis itu pasrah, tidak bisa mengelak lagi.
"Kan, sekalian aja. Nggak repot, kok." Sean mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku, sulit digerakkan.
Berada di dalam mobil Sean bukanlah kali pertama bagi Jelita. Belakangan ini, dia merasa Hani sering menciptakan kondisi dimana dia harus berakhir di kursi penumpang mobil Sean. Walau sudah beberapa kali semobil, tapi tetap saja tak ada kemajuan berarti dalam komunikasi mereka. Sean bersikap seperti pengemudi taksi, yang hanya fokus ke jalanan memastikan penumpangnya selamat sampai tujuan. Tak ada obrolan basa-basi sama sekali dalam perjalanan. Jelita juga mendadak seperti arca. Kemampuannya bicara seperti menghilang begitu saja saat hanya berdua bersama Sean. Alhasil hanya keheningan yang canggung menaungi mereka.
"Ibu bilang, setelah wisuda nanti kamu ditawari buat ngajar di almamatermu, ya?" Sean membuka suara juga akhirnya.
"Oh, itu. Iya, Mas." Jelita yang tengah melamun tergagap, tak menyangka Sean tiba-tiba saja mengajaknya bicara.
"Kalau kamu pengen ngajar, ngajar aja. Nggak usah sungkan, hanya karena Ibu memintamu fokus ke toko."
Lelaki itu berkata penuh kesungguhan. Dia tidak ingin gara-gara ibunya, Jelita melupakan mimpinya sendiri. Lagipula, Ibunya harus mulai membiasakan diri untuk tidak tergantung sepenuhnya pada gadis itu. Pada akhirnya nanti, Jelita akan punya kehidupannya sendiri.
"Akan saya pikirkan, Mas."
"Semoga kamu nggak salah paham. Aku hanya nggak ingin kebebasanmu jadi terbelenggu karena permintaan Ibu. Setelah wisuda nanti, kesempatanmu terbuka luas untuk melihat dunia yang sesungguhnya. Kamu nggak ingin selamanya mengurus toko, kan?"
"Iya, Mas." Jelita masih terheran-heran. Selama ini, Sean jarang mengajaknya bicara. Kalimat barusan adalah kalimat terpanjang yang didengarnya dari lelaki itu.
Saat mobil Sean berhenti di halaman Golden Florist, jantung Jelita berdebar gelisah ketika melihat sebuah Camry putih yang sangat dikenalinya terparkir di depan toko. Hanya dengan melihat kendaraannya saja sudah membuat Jelita tak enak hati, apalagi bertemu pemiliknya.
"Hei, kok kalian bisa barengan?" Baru saja berada di dalam lamunan Jelita, pemilik Mercy putih itu tiba-tiba membuka pintu toko, untuk menyambut mereka.
"Tadi kebetulan abis makan siang dari rumah Ibu, pas mau balik ya sekalian aja, kan searah," sahut Sean datar. "Lo ngapain, Lin? Cari bunga?"
"Iya, nih."
"Ya, udah gue duluan, ya!" pamit Sean pada Linda sepupunya itu, lalu mengangguk sekilas pada Jelita.
"Makasih, Mas. Hati-hati!" Jelita membalas dengan senyum samar.
"Pinter juga lo, ya, Ta. Setelah berhasil bikin Tante Hani nyerahin tokonya ke elo, sekarang giliran anaknya yang elo dekati," celetuk Linda setelah mobil Sean menghilang dari pandangan.
"Maaf, saya nggak ngerti maksud Mbak Linda."
Jelita mencoba agar tak terpengaruh oleh provokasi Linda, meski hatinya sakit mendengar tudingan itu. Sejak mereka masih anak-anak, dia menyadari kalau Linda memang tidak pernah menyukainya. Awalnya dia pikir seiring berjalannya waktu dan mereka sudah sama-sama dewasa, sikap perempuan itu akan berubah dengan sendirinya. Namun, dia salah. Linda tetaplah seorang intimidator yang suka menindas dengan kata-kata pedas.
"Lo nggak usah sok polos, deh, Ta! Kita semua kecuali Tante Hani, tahu kalo elo itu memanfaatkan kebaikannya demi kepentingan lo sendiri. Emang nggak cukup, ya, beliau udah berbaik hati mungut lo, nanggung semua biaya hidup dan nyekolahin lo sampai S2? Lo mau juga nguasai semua hartanya dan dapetin anak satu-satunya? Tante Hani mungkin bisa terperdaya sama elo, tapi Sean nggak. Jadi nggak usah GR dia bakal mau sama anak pelayan kayak elo!"
Jelita terbengong-bengong mendengar penjelasan lugas tanpa basa-basi yang keluar dari mulut Linda. Dia tahu kalau perempuan itu membencinya, tapi dia tak pernah menyangka sedikit pun kalau pikiran Linda ternyata seburuk itu padanya.
"Saya nggak pernah memanfaatkan Ibu atau berniat mendekati Mas Sean, Mbak. Sumpah demi Allah!" Suara Jelita sedikit bergetar menahan kecamuk emosi di dalam dadanya. Sejak kecil dia sudah terlatih untuk tidak menunjukkan emosi berlebihan pada siapa pun, tapi tetap saja tuduhan tak berdasar Linda barusan sangat melukai hatinya.
"Yeah, kita liat aja nanti." Gadis itu mengedikkan bahu dengan wajah mencemooh, lalu kembali masuk ke dalam toko Golden Florist.
Jelita mengatur napas beberapa saat demi mengurai rasa sesak di dalam dadanya, sebelum akhirnya menyusul Linda ke dalam. Lagi-lagi dia hanya bisa mengurut dada melihat sepupu Sean itu memilih belasan tangkai mawar segar dan menyuruh salah satu pegawai untuk merangkai sebuah buket yang cukup besar untuknya.
"Thank you," ucapnya basa basi, setelah buket pesanannya selesai. Gadis itu melenggang santai ke arah pintu keluar dengan dagu sedikit terangkat. Melewatkan meja kasir, dia pergi tanpa membayar sama sekali.
"Mentang-mentang ponakan Bu Hani, seenaknya aja suruh bikinin buket tapi nggak bayar. Dasar Miss Kere! Nggak malu apa sama Mercy?" gerutu Tika yang berada di meja kasir.
"Katanya orang kaya, tapi buket lima ratus ribu aja nggak sanggup bayar. Mentalnya ternyata masih gratisan, kayak rakyat jelata!" timpal Farah tak kalah sebal.
"Sudah ... Sudah! Buang-buang energi aja kalian ngomel, tapi orangnya nggak tau." Jelita tertawa melihat kedua rekannya itu misuh-misuh.
"Ya, soalnya elo yang terpaksa nombok, Ta! sekali dua kali mah wajar. Ini dalam bulan ini aja udah lima kali, lho, dia ambil bunga tanpa bayar. Belum bulan sebelum-sebelumnya," balas Tika dongkol.
"Keluarga Bu Hani yang lain aja, nggak ada tuh, yang mau gratisan. Mereka selalu bayar sesuai harga dan nolak saat kita kasih diskon. Eh, si Miss Kere ini doang yang beda sendiri." Farah tak mau kalah. Ada kepuasan tersendiri baginya saat mengomeli Linda di belakang
Jelita tahu dia seharusnya tegas atas masalah ini, tapi nyalinya tidak sebesar itu untuk menegur Linda. Darah pelayan yang mengalir di tubuhnya sangat kental, sehingga dia merasa tidak pantas menyuarakan isi hati, alih-alih menegur majikan. Memang Linda bukan majikannya langsung, tapi perempuan itu adalah keponakan Bu Hani majikannya, otomatis Linda juga dia anggap majikan.
"Eh, tapi tadi gue sempat denger dia nuduh lo godain si Manusia Kulkas itu, ya?" Tika menyeletuk tiba-tiba.
"Hush! Manusia Kulkas yang lo omongin itu, anak kesayangan bos lo, Tik!" tegur Farah sambil tertawa.
"Ya, kan, orangnya nggak di sini. Nggak bakal dengar juga."
"Kalian itu, ya, kebiasaan ngomongin orang di belakang. Coba, deh, sesekali ngomong langsung di depannya. Berani nggak?" Jelita tergelak.
"Gue, sih, nggak yakin lo godain Mas Sean, Ta. Tapi kalau dia yang deketin lo wajar aja, wong udah dua tahun menduda. Kali aja dia mau jadiin lo calon istri." Tika mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Jelita.
"Lo suka ngomong sembarangan!" Jelita memberengut. Omongan Farah terlalu mengada-ada. Dilihat dari segi mana pun, tak ada hal yang bisa membuat Sean tertarik pada anak pelayan sepertinya. Apalagi tiap mereka bertemu di rumah Ibu, Sean nyaris tak pernah mengajak bicara kecuali basa-basi ala kadarnya demi kesopanan. Jelita tahu pasti, Sean sengaja menjaga jarak dengannya. Tak mengapa, toh, dia juga tak pernah merasa nyaman berada di sekitar Sean.
Jadi, tuduhan Linda soal keinginannya menggoda Sean jelas mengada-ada. Bagaimana mau menggoda, kalau Jelita bawaannya selalu ingin kabur kalau bertemu dengan lelaki itu?
-tbc-
Bagibyang mau cepat, cerita ini juga bisa dibaca di aplikasi Karyakarsa ya, saat ini sudah sampai bab 14. Masih Free 😘
Di KBMAPP sudah sampai bab 46.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...