TUJUH

279 51 3
                                    

"Mbak Darmi bilang, beberapa hari lalu Ibu nggak enak badan, ya? Makan juga nggak selera," tanya Jelita ketika datang berkunjung ke rumah Hani pagi-pagi sekali. Sudah dua hari lalu dia sampai dari Rancakole tempat pamannya, tapi baru sempat mengunjungi Hani hari ini, setelah perempuan itu memintanya datang semalam.

Masih segar di ingatannya betapa leganya suara Hani ketika menelponnya, setelah berhari-hari dia tidak bisa dihubungi.

Ponsel butut milik Jelita mati total selama empat hari karena kehabisan daya. Bertepatan dengan aliran listrik terputus karena pohon tumbang dan menimpa gardu listrik di desa kelahirannya itu.

"Darmi berlebihan. Ibu hanya nggak enak badan biasa. Maklum sudah tua." Hani tidak mungkin menceritakan kalau dia kehilangan nafsu makan karena sangat mengkhawatirkan Jelita.

Belakangan ini dia banyak berpikir, bagaimana kalau Jelita benar-benar pergi dan melanjutkan hidupnya dengan orang lain. Sungguh, Hani belum siap.  Meski untuk mengatakan terang-terangan agar Jelita selalu berada di sisinya, dia juga tidak sampai hati.

"Bagaimana kabar pamanmu?" Kentara betul dia sangat bahagia karena pagi ini Jelita datang dan membuatkannya sarapan.

"Paman sehat, Bu. Beliau berencana menikahkan anaknya yang sulung, jadi kemarin itu acara lamaran di rumah."

"Ibu tidak ingat kalau Dadang punya anak yang sudah dewasa, seingat Ibu kemaren itu bukannya baru masuk SMA, ya, yang paling tua?"

Jelita tersenyum kecil. "Iya memang yang itu, Bu. Si Euis. Di baru saja lulus. Tapi udah ada yang ngelamar. Anaknya juga setuju. Jadi, ya, Paman bilang nggak apa-apa menikah saja."

"Oh, begitu." Hani mafhum. Dulu mendiang Sarti, ibu Jelita, pernah bercerita kalau di desanya sangat lumrah menikah di usia muda. Sarti saja waktu itu melahirkan di usia sembilan belas tahun. Dua tahun setelahnya, dia diceraikan sang suami yang tergila-gila pada janda di desa sebelah. Sarti merantau ke Jakarta dan bertemu Hani saat Jelita baru lima tahun.

Paras rupawan gadis kecil itu, langsung menawan hati Hani yang sangat merindukan kehadiran seorang anak perempuan. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerima Sarti bekerja di rumahnya dan mengurus serta menyekolahkan Jelita seperti anaknya sendiri.

"Waktu Ibu ke toko, Tika bilang kamu diantar sama teman kamu ke Bandung," tanya Hani tidak kuasa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Oh, itu. Ibu ingat, kan, kalau saya pernah cerita kalau keluarga Khalif punya perkebunan mawar di Bandung? Nah, kemarin itu, kebetulan dia mau mengantar keponakannya untuk liburan ke sana. Jadi, dia menawarkan untuk bareng, sekalian untuk melihat langsung kebun mawarnya."

"Jadi?"

"Kualitas mawar mereka bagus, Bu, tapi mereka lebih fokus pada mawar tabur, bukan mawar potong," kata Jelita penuh semangat

"Meski di toko, permintaan mawar tabur nggak sebanyak mawar potong, tapi pada momen-momen tertentu, kita butuh juga dalam jumlah besar. Saya udah ngobrol banyak sama yang ngelola, katanya gampang kalau kita butuh. Harganya juga cukup bersaing."

Hani hanya manggut-manggut. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada perkembangan Golden Florist, tapi oleh hal lain. Sedekat apa hubungan Jelita dengan Khalif? Apa mereka benar-benar menjalin hubungan istimewa? Mengingat beberapa waktu lalu, Khalif juga mengundang Jelita ke pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Hani gelisah bukan main dibuatnya.

"Oh, ya, Bu. Saya membawa laporan keuangan bulan ini. Ibu tinggal ngecek lagi.  Pagi ini saya juga mau ke Bank." Jelita mengeluarkan map dari tasnya dan menyerahkan pada Hani.

Pintu kamar yang ditempati Sean saat menginap di rumah ibunya tiba-tiba terbuka. Lelaki itu melangkah keluar dengan pakaian semi formal. Hari ini dia tidak masuk kantor, tapi langsung ke lokasi pembangunan sebuah kompleks perumahan elit yang memakai jasanya.

CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang