ENAM BELAS

313 47 14
                                    

Jelita terkesima selama beberapa detik, sebelum buru-buru mengalihkan pandangan sembari meredakan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Sejak tadi, dia berupaya agar bisa  memakan sarapannya dengan baik, tapi senyuman yang diberi Sean barusan, sukses membuatnya benar-benar tak bisa lagi menelan. Pada akhirnya gadis itu terpaksa menyisakan makanan di piring.

'Haish! Itu hanya sekadar senyuman biasa, Jelita. Jangan bereaksi berlebihan!' Dia menghardik pikirannya sendiri.

Tak ada cara yang lebih ampuh untuk mengurai kecanggungan selain pura-pura sibuk dengan sesuatu di dalam tas. Jelita berharap semoga Sean tidak menyadari kalau saat ini dia grogi bukan main.

Sean berdeham, setelah menandaskan sarapannya dan mengamati gadis yang tengah salah tingkah di hadapannya. Dia tak dapat menyembunyikan rasa geli di dalam hatinya.

'Benar kata Evan, ini akan sangat mudah!' batinnya penuh percaya diri.

'Permainan baru saja dimulai.'

Lelaki itu  sudah memikirkan beberapa rencana untuk membuat Jelita terjerat dan tak akan bisa lepas darinya.

Pengalamannya yang sudah bertahun-tahun mengenal dan mendekati berbagai jenis  perempuan, tak bisa dinafikan begitu saja. Jelita jelas sangat mudah dibaca. Usianya memang sudah dewasa, tapi caranya menghadapi lelaki, sama seperti remaja yang belum punya pengalaman sama sekali.

Sekilas terbersit rasa bersalah dalam hati Sean, tapi segera dia tampik, kala teringat desakan ibunya. Toh, dia tidak bermaksud buruk pada Jelita, hanya mencari jalan paling mudah untuk bisa segera menaklukkan gadis itu dan membawanya ke hadapan Hani sebagai calon istri.

Lelaki itu menghela napas panjang, tiap kali teringat pada tujuan akhir dari permainan ini. Pernikahan. Apakah dia sanggup?

Bunyi notifikasi pesan dari ponselnya, membawa Sean kembali ke dunia nyata. Sebaris kalimat dari ibunya membuat lelaki itu lagi-lagi menghela napas panjang.

"Gimana, kamu jadi ketemu sama Jelita di makam?"

"Jadi," balasnya singkat.

Tak lama setelah pesan tersebut dibaca, ponselnya berdering menampilkan nama sang ibu di layar. Sean mengusap wajahnya, sebelum akhirnya menolak panggilan tersebut.

Hani selalu saja tak sabaran kalau sudah menyangkut soal perkembangan hubungannya dengan Jelita. Lelaki itu sudah bisa membayangkan rentetan pertanyaan yang akan terlontar dari mulut ibunya, kalau dia menjawab panggilan tersebut sekarang.

"Udah, Ta, kita balik?" Dia bertanya pada Jelita setelah mengantongi ponselnya.

"Oh, iya, Mas. Udah." 

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran dalam diam. Bahkan saat sudah berada di dalam mobil, masih tak ada yang berniat untuk membuka suara.

Sean mengeluh dalam hati, saat menyadari kalau dia terlalu cepat menyimpulkan akan mudah menaklukkan Jelita. Buktinya untuk kembali memulai obrolan saja dia kesulitan. Diliriknya gadis yang tengah duduk gelisah di kursi penumpang, sembari melempar pandangannya ke jendela.

"Kamu nggak nyaman, ya, kalau kita semobil kayak gini?" Dia bertanya terus terang.

"Oh, nggak, kok, Mas. Kenapa Mas bertanya kayak gitu?" Jelita terkejut, tak menyangka mendapat pertanyaan tiba-tiba semacam itu.

"Nggak hanya saat di mobil kayak gini, saat sedang berdua bersamaku, di mana pun, kamu selalu terlihat nggak nyaman. Tadi juga sarapanmu nggak habis, kan?" Sean sengaja mendesak gadis itu, lalu tertawa kecil melihat Jelita yang semakin gelisah.

"Sebenarnya, tadi saya belum terlalu lapar, karena tadi pagi sudah sempat sarapan ringan," elaknya.

"Kamu bisa ngobrol akrab berjam-jam dan tertawa bersama Ibu, tapi kalau sama aku, kamu tegang aja bawaannya. Emang aku semenakutkan itu, ya?" Sean terus merongrong. Dia sangat menikmati melihat Jelita yang terlihat semakin gugup dan jadi serba salah begitu.

CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang