DUA PULUH

516 49 29
                                    

Taksi yang ditumpangi Jelita berhenti tepat  di depan pintu gerbang kediaman Hani. Dari balik pintu gerbang yang menjulang tinggi itu, dia melihat Mercy putih milik Linda terparkir di halaman. Jantungnya berdebar kencang saat security yang berjaga, membukakan gerbang dan tersenyum ramah padanya.

Hanya berselang tiga jam, sejak kejadian pagi tadi di mana dia dengan beraninya menggertak Linda, tapi sekarang keberanian itu menghilang begitu saja. Dengan tangan sedikit gemetar, dia menggenggam tali tasnya erat-erat dan memasuki rumah Hani.

Salamnya langsung dijawab oleh Hani. Perempuan paruh baya itu tersenyum hangat padanya. Senyuman itu tidak pernah berubah sejak dulu, membuat Jelita merasa aman dan terlindungi. Meski tetap saja, dia tidak bisa menyelamatkan nyalinya yang sudah terlanjur terperosok ke dasar bumi, kala menyadari ada Ajeng juga di sana, menatapnya dengan pandangan tajam seakan mengulitinya sampai ke tulang.

"Duduk, Ta," kata Hani menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Meski Hani tidak mengatakan apa-apa saat menelponnya tadi, tapi melihat situasi saat ini, dia langsung tahu kalau sekarang sedang diadili atas sikapnya tadi pagi.

Jelita tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali, alih-alih menyapa Ajeng dan Linda yang duduk tepat di hadapannya.

Dengkusan kasar Linda yang terdengar jelas oleh Jelita membuat gadis itu semakin mengeratkan cengkramannya pada tali tas.

"See? Siapa yang percaya penampilan cupu kayak gini, tadi pagi melayangkan tendangan padaku? Heh, Lo sebenarnya lagi ber-akting atau gimana?" sembur Linda tanpa basa-basi.

"Lin, Tante tahu kamu kesal, tapi bisa nggak bicara baik-baik?" tegur Hani. Dia tidak suka dengan gaya bicara keponakannya yang pongah dan cendrung meremehkan itu.

"Sorry, Tan. Aku nggak bisa bicara baik-baik sama perempuan kurang ajar yang dengan sengaja melayangkan kakinya ke wajahku!"

"Bisa kamu jelaskan pada kami semua kenapa bisa sekurang ajar itu sama Linda? Linda itu anak saya dan saya adalah kakaknya Hani, majikan kamu! Kok, bisa ada pelayan yang melewati batas kayak kamu?" Ajeng yang sejak tadi menahan diri akhirnya memuntahkan kekesalannya.

"Mbak, tenang dulu! Gimana bisa Lita bicara, kalau langsung dipojokin kayak gini?" Hani mengelus dadanya yang mendadak nyeri mendengar kecaman keras dari mulut kakaknya itu.

"Kamu tahu kesalahan terbesarmu apa? Kamu itu terlalu naif dan bodoh jadi orang, sehingga bisa ditipu oleh orang-orang seperti dia!" sentak Ajeng gusar.

Sean yang sedang baru saja menerima telepon di teras samping, segera masuk ke dalam ketika mendengar keributan itu.

"Bude, kenapa, sih?"

"Tanya sama ibumu sana!"

"Mengapa kita nggak bisa duduk dengan kepala sama-sama dingin dan membicarakan ini selayaknya orang dewasa?" Hani sedikit menaikkan nada suaranya meski dia menjaga agar terdengar tetap tenang terkendali.

Sean yang baru menyadari kalau Jelita sudah berada di tengah-tengah mereka ikut duduk tak jauh dari sana dan mengamati gadis itu diam-diam.

Dia masih tidak percaya, perempuan yang tengah tertunduk dengan jamari yang mencengkram tali tas hitam kesayangannya dengan gugup itu, berani menendang Linda.

Bahkan saat mencoba membayangkannya saja, Sean tak bisa. Bagaimana caranya Jelita yang sangat feminin dan terlihat selalu gugup tak percaya diri itu, melayangkan kakinya pada Linda? Tanpa sadar dia tersenyum geli memikirkan hal tersebut.

Ya, ampun ada-ada saja. Linda pasti tengah berhalusinasi.

"Kenapa lo hanya diam saja?" Linda kembali menyerang Jelita. "Ayo tunjukkan kesombongan lo tadi pagi! Nggak usah belagak sok polos kayak gitu! Jijik gue!"

CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang