DUA PULUH SATU (a)

415 50 5
                                    

Setelah magrib, Sean memacu mobilnya menuju Golden Florist. Kejadian siang tadi di rumah ibunya membuat pikiran lelaki itu tidak tenang. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Jelita mengenai tuduhan Linda padanya.

Apalagi dia sangat mengenal Linda sebagai ratu drama yang suka membesar-besarkan masalah dan terkadang memutarbalikkan fakta. Sangat tidak masuk akal, Linda yang galak dan pemberani jadi korban dalam peristiwa tersebut, meski dia juga penasaran mengapa Jelita tidak menyangkal sama sekali. Apa dia diancam? Mengingat betapa seringnya dulu Linda merundung gadis itu, bukan tidak mungkin kali ini kejadian serupa terulang.

Sebenarnya Sean malas terlibat dalam perselisihan antar perempuan seperti ini, tapi karena semua terjadi di depan mata kepalanya sendiri, tidak mungkin diabaikan begitu saja. Apalagi Jelita adalah bakal calon istri yang diidamkan oleh ibunya. Mengingat hal itu Sean merasa jalannya akan semakin sulit. Bagaimana kalau Bude Ajeng dan Linda tahu tentang hal itu? Pasti mereka menjadi pihak pertama yang paling menentang.

Namun, Sean memilih tidak memikirkannya sekarang. Dengan cara yang tak bisa dimengerti, dia mengkhawatirkan Jelita. Bayangan wajah gugup dan tertekan gadis itu tidak mau pergi dari ingatannya.

Supri langsung menyambangi Sean saat dia baru saja memarkir mobil di halaman toko.

"Eh, Mas Sean. Ada yang bisa dibantu, Mas?"

"Saya mau ketemu Lita, dia ada di dalam, kan?"

"Oh, ada, kok, Mas." Supri buru-buru mendorong rolling door dan mempersilakan Sean masuk.

"Saya nggak lama, kok."

"Lama juga nggak apa-apa, Mas." Supri tersenyum lebar dan menatapnya penuh arti.

Sean menghela napas panjang sambil geleng-geleng. "Jangan pikir macam-macam! Saya hanya sebentar, ada yang mau dibicarakan."

"Siap, Mas!" Supri membungkuk hormat. Tak ada lagi cengiran lebar di wajahnya. Nada dingindari suara lelaki itu membuatnya sedikit gentar.

Tidak seperti pertama kali Sean mengunjungi kediaman Jelita dulu, saat ini dia sudah mulai familiar dengan penerangan yang temaram di dalam toko. Dia mendorong pintu belakang yang tak terkunci dan langsung disambut dengan pemandangan berpot-pot selada yang tumbuh subur, belum sempat dipanen.

Langkahnya terhenti kala mendengar suara teriakan disertai gebukan, lalu mengedarkan pandangannya mencari sumber suara.

Di sudut halaman, agak terhalang oleh pot super besar yang ditanami pohon jambu air, dia melihat bayangan Jelita tengah berkelebat sambil menendang dan meninju samsak yang tergantung. Sean mendekat dengan hati-hati agar kehadirannya tidak mengejutkan gadis itu.

Setelah berada pada jarak dan posisi yang diinginkan, lelaki itu berhenti dan mengamati Jelita yang tengah mengerahkan semua kemampuannya. Tendangan dan tinju yang melayang bertubi-tubi pada samsak tersebut, seakan menyiratkan kemarahan besar yang sudah terpendam sejak lama.

Sean sedikit ngeri sekaligus iba. Dia seolah melihat dirinya sendiri yang dulu juga pernah menjadikan samsak sebagai salah satu pelarian setelah mengalami perpisahan menyakitkan dengan Gladys, di saat minum dan kencan random di bar, tak lagi bisa menghilangkan semua rasa sesak di hatinya.

"Daripada menendang samsak yang nggak bisa membalas balik, mending kamu melawanku." Kehadiran Sean yang tiba-tiba, membuat Jelita terkejut bukan main.

"Mas Sean?" serunya tertahan. Gadis itu refleks menurunkan kakinya yang baru saja berayun ke depan.

Sean hanya tersenyum tipis, lalu membuka alas kakinya. Merasakan rumput gajah mini yang menutupi sepetak tanah tempat samsak itu tergantung, membelai telapak kakinya yang te lanjang.

Lelaki itu langsung mengambil kuda-kuda dan melayangkan kepalan tangannya pada Jelita. Gadis itu refleks menangkis serangan Sean dan membalas balik. Selama beberapa saat mereka saling beradu ketangkasan. Tampak betul Jelita menyerang dengan membabi buta. Namun, Sean lawan yang sangat tangguh, apalagi tenaga gadis itu sudah hampir habis karena sejak tadi sudah cukup lama latihan. Pada akhirnya, Sean berhasil melumpuhkannya. Jelita roboh ke rumput dengan napas tersengal-sengal.

Dia tak berusaha bangkit. Sambil berbaring, gadis itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menikmati rasa lelah dan pegal yang mendera sekujur tubuhnya. Pandangannya tertuju pada langit hitam yang menggantung di hadapannya. Pada saat seperti ini, dia merasa tak ada artinya sama sekali. Hanya setitik debu di semesta yang maha luas.

Bayangan tubuh Sean yang berdiri sambil mengulurkan tangan tepat di depannya, membuat gadis itu tersadar dari lamunan. Dia menyambut uluran tangan kokoh tersebut dan berjalan sedikit sempoyongan, mengikuti Sean menuju bangku yang berada di teras paviliun.

"Feel better?" tanya Sean sambil tersenyum ketika mereka sudah sama-sama duduk di bangku.

"Yeah!" Jelita meraih botol minum yang sejak tadi sengaja ditaruhnya di sana, lalu meneguknya.

"Kalau nggak ngeliat langsung ternyata kamu jago Tae Kwon Do, aku masih nggak percaya kalau kamu nendang Linda," Sean tertawa kecil melihat Jelita yang meneguk minumnya langsung dari botol. Dalam situasi normal seperti yang dia lihat selama ini, Jelita yang feminin, tidak akan pernah minum dengan gaya seperti itu.

Sean semakin menyadari, di kediamannya yang tersembunyi dan privat ini, Jelita benar-benar terlihat nyaman menjadi dirinya sendiri.

"Jago apaan, saya langsung tumbang padahal kayaknya nggak sampai sepuluh menit melawan Mas Sean." Gadis itu ikut tertawa. Entah mengapa malam ini perasaannya jauh lebih baik dibandingkan beberapa jam yang lalu. Mungkin karena semua emosinya sudah tersalurkan lewat latihan fisik yang benar-benar menguras tenaganya.

"Itu karena fokusmu hanya menyerang habis-habisan, karena ingin cepat-cepat ngalahin aku, tapi kedodoran ketika mempertahan diri, saat diserang balik."

"I see."

"Let me guess, tadi kamu bayangin lagi menghajar Linda, ya?"

Jelita menoleh, tidak menyangka Sean menebak seperti itu. Saat pandangan mereka bertemu, gadis itu buru-buru memalingkan wajahnya. Beradu tatap dengan Sean selalu membuat jantungnya mendadak tidak baik-baik saja. Dan dia tidak ingin hal itu terjadi.

"Nggak, kok," jawabnya singkat.

"Uhm, berarti aku salah, ya?" Sean bersedekap sambil mengamati Jelita dari samping. Meski tidak terlalu terang, tapi lampu di teras ini masih bisa membuatnya melihat dengan jelas garis wajah gadis itu.

Tulang pipi dan hidungnya yang bangir, terpahat indah dan pas dengan bentuk wajahnya yang oval. Rambut panjangnya yang biasanya selalu terikat rapi, kali ini disanggul seadanya, dan beberapa bagian terlepas dan lembab oleh keringat. Berantakan tapi memikat. Saat matanya tertuju pada bibir gadis itu, Sean langsung mengalihkan pandangan. Dia tidak ingin fokusnya terpecah, karena tujuannya ke sini untuk menghibur sekaligus mencari tahu kebenaran di balik insiden tadi pagi. Bukan untuk menilai-nilai sembari mengagumi paras gadis itu.

"Jadi apa yang bikin kamu berlatih sangat keras dan penuh emosi kayak tadi?" lanjut Sean setelah berhasil mengembalikan fokusnya.

"Dari mana Mas nyimpulin kalau saya emosi?" Alis Jelita bertaut. Dia merasa Sean sok tahu dengan mencoba menganalisanya hanya lewat pengamatan sekilas.

Lelaki itu tertawa. Tentu saja dia tak akan mengatakan terus terang, kalau pada beberapa kesempatan, Jelita sangat mudah dibaca.

"Jadi aku salah tebak lagi?"

Jelita terdiam. Sean tidak salah, karena dia memang sedang emosi saat berlatih tadi. Menyalurkan semua energi negatif itu lewat tendangan dan pukulan pada samsak jauh lebih melegakan.

-tbc-

Cerita ini sudah tamat di KBMAPP dan Karyakarsa ya. Bisa juga dibaca di grup telegram berbayar dengan harga lebih terjangkau.

Kontak aja ke 0811667783 ❤️

CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang