Arisan bulanan di keluarga besar Hani kali ini diadakan di rumah Ajeng kakak perempuannya yang sulung, sekaligus ibu Linda. Beberapa jam sebelum acara dimulai, Jelita sudah disuruh datang ke sana untuk bantu-bantu. Tidak seperti adik-adiknya yang kaya raya dan punya pelayan banyak, Ajeng hanya punya satu pelayan yang sudah tua, dan tidak bisa diandalkan untuk menangani acara tersebut.
Semenjak kematian sang suami lima belas tahun silam, kehidupannya berubah drastis. Tidak lagi bisa bermewah-mewahan seperti dulu. Roda perekonomian keluarga dibebankan ke pundak Linda yang merupakan anak bungsunya. Untung saja, adik-adiknya rutin membantu tiap bulan, sehingga dia masih bisa hidup dengan layak.
Tak berbeda jauh dengan Linda yang bermulut pedas dan suka memerintah, sejak tadi Ajeng tak berhenti menyuruh Jelita menyiapkan segala tetek bengek arisan. Mulai dari menyiapkan hidangan, menata rumah dan beres-beres.
"Kue-kuenya udah disusun belum, Ta?" teriaknya dari ruang tengah.
"Sudah kok, Bu. Semuanya udah beres. Tinggal motong buah saja," kata Jelita memastikan lagi semua menu sudah terhidang di meja prasmanan yang berada di ruang tamu.
"Bunganya kan saya minta yang warna peach, kok kamu bawa yang putih, sih?" Bibir Ajeng mengerucut melihat vas bunga besar di tengah meja berisi rangkaian bunga segar berwarna putih.
"Bukannya waktu itu Ibu minta yang putih, ya?" kata Jelita kebingungan. Dia masih ingat Ajeng menelponnya langsung dua hari lalu untuk dibawakan rangkaian bunga berwarna putih.
"Saya bilang peach, bukan putih," decaknya dengan bibir cemberut.
"Maaf, Bu. Mungkin saat itu saya salah dengar."
"Kamu itu, ikhlas apa nggak, sih, bawainnya? Apa karena mentang-mentang saya nggak bayar? Kamu, kan, tinggal kasih aja catatan ke Hani kalau saya minta bunganya."
"Tentu saja bukan gitu, Bu. Saya yang salah dengar saat itu. Maaf."
Jelita sudah lama menebalkan telinga mendengar omelan dan kata-kata pedas dari perempuan itu, sehingga tidak lagi merasakan sakit hati berlarut-larut.
"Lain kali kamu dengar bener-bener. Nggak tiap hari, lho, Ibu bisa ngadain acara di rumah ini. Hanya sesekali, makanya Ibu nggak ingin ada kesalahan." Linda yang baru keluar dari kamar ikut nimbrung sambil menatap Jelita tajam.
"Kalau gitu, biar saya minta Tika ngirim bunga yang sesuai permintaan Ibu," ucap Jelita tidak ingin memperpanjang masalah.
"Ya, sudah. Keburu, nggak? Bentar lagi acara udah mulai, lho!"
"Insyaallah keburu, kok,Mbak."
"Tante Hani udah sayang dan perhatian banget sama kamu, kalau kamu nggak bisa balas semua kebaikannya, seenggaknya kamu bisa sedikit menyenangkan hati keluarganya. Kamu tahu, kan, kalau ibuku itu kakak kesayangan Tante Hani?" Linda masih belum puas untuk mengomeli Jelita. Sampai detik ini dia masih kesal sekali karena Hani lebih mempercayakan tokonya diurus Jelita daripada dia , keponakannya sendiri.
"Iya, Mbak. Maaf. Lain kali saya akan lebih berhati-hati." Gadis itu segera pamit menelpon Tika untuk menyiapkan pesanan Ajeng, lalu kembali ke dapur memastikan semua sudah kembali rapi dan bersih.
"Sabar, ya, Ta," bisik pembantu Ajeng yang sejak tadi mengamati majikannya mengomeli Jelita.
"Nggak apa-apa kok, Mbok Nah. Udah kebal." Jelita tertawa kecil sambil membantu perempuan tua itu mengemasi dapur.
Satu persatu keluarga Ajeng mulai berdatangan memenuhi ruangan yang tak terlalu besar itu. Jelita dan Mbok Nah tak kalah sibuk ke sana kemari melayani mereka. Meski sudah melakukan pekerjaan sebaik mungkin, tetap saja dia tidak terlepas dari kritian Ajeng dan Linda.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...