Dua Puluh empat

142 17 4
                                    

Cukup lama Sean menunggu, tapi Linda tak kunjung kembali dari toilet. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Apa yang dilakukannya di toilet?

Sean berniat menyusul, tapi niatnya terhenti  saat Gladys kembali dengan raut wajah agak khawatir. "Aku nggak nemuin Linda di toilet!"

"Serius?" Lelaki itu merogoh ponselnya di saku dan langsung menghubungi perempuan itu. Namun, nomor yang dituju tidak aktif sama sekali.

"Astaga, ke mana tu anak!" Sean mendengkus gusar. Antara gemas dan cemas, takut terjadi sesuatu yang buruk pada sepupunya itu.

Sudah pukul dua pagi saat ini dan Linda sedang mabuk. Bagaimana kalau tanpa sadar dia pergi dengan orang tak dikenal?

"Biar aku cek lagi dalam. Kamu coba cari ke luar," saran Gladys.

Mereka berpencar untuk mencari Linda. Namun perempuan itu tak kunjung ditemukan. Hingga akhirnya bar tutup dan mereka akhirnya mencari di parkiran yang sudah lengang dan tak menemukan mobil Linda di sana.

"Kayaknya dia udah pergi, deh," kata Gladys.

"Masa dia nyetir dalam keadaan mabuk?" Sean geleng-geleng.

"Bisa jadi ada yang nganterin."

"Sulit dipercaya! Linda ...Linda!" Sean masih tak habis pikir dengan kelakuan sepupunya itu. Bisa-bisanya dia mengganggu tidurnya dan minta dijemput tengah malam buta, lalu pergi begitu saja.

"Ponselnya masih mati," gumam Gladys saat berusaha menghubungi Linda kembali.

"Ya, sudah. Semoga beneran udah pulang. Tapi aku nggak yakin dia pulang ke rumah Bude, karena pasti kena omel. Mungkin dia pulang ke butik. Kalau nggak, bisa jadi ikut nginap di rumah orang yang mengantarnya," geram Sean saat mereka berjalan bersisian menuju tempat mobilnya terparkir.

"Semoga dia baik-baik saja," kata Gladys tertawa kecil melihat Sean menggerutu. "Dia masih suka banget ngerepotin kamu kayak gini, ya?"

"Belum berubah sama sekali. Umur aja yang nambah, tapi kelakuan masih sembrono dan nggak bertanggungjawab!"

"Tapi kamu saudara yang baik. Semenyebalkan apa pun tingkahnya, kamu tetap peduli sama dia."

"Apa boleh buat, mungkin ini semacam kutukan buatku punya sepupu kayak dia." Sean mencoba melucu, dan ditanggapi dengan senyuman lebar oleh Gladys.

"Well, udah hampir pagi, sebaiknya kita pulang. Kamu bawa mobil?" tanya Sean.

Perempuan itu menggeleng. "Tadi dari hotel aku naik taksi ke sini. Linda katanya mo ngadain party sekalian reuni kecil-kecilan gitu sama beberapa teman kuliahnya dulu."

"Ya, sudah, biar kuantar. Kamu nginap di mana?"

"Aku naik taksi aja, nggak apa-apa, kok," tolaknya halus.

Namun, Sean tidak menggubris dan langsung membukakan pintu mobil untuk Gladys. "Naiklah!"

Perempuan itu tak punya alasan lagi untuk menolak. Sudah dini hari dan rasanya lebih aman pulang bersama Sean daripada naik taksi. Meski sebenarnya dia sendiri tidak yakin, apakah benar-benar aman atau justru membuat mereka sama-sama berada dalam bahaya?

Pesona Sean masih sekuat dulu. Meski Gladys bisa menjaga sikap dan ekspresinya agar terlihat wajar, tapi tak bisa dipungkiri jantungnya masih berdebar kencang saat berada di dekat mantan suaminya itu. Sudah dua tahun berlalu dan sudah banyak lelaki yang datang dan pergi dari hidupnya setelah perpisahan itu, tapi tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan posisi Sean di hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CINTA SEMUSIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang