"Gue benar-benar nggak ada ide bagaimana memulai percakapan dengan Lita," keluh Sean saat malam itu dia mengajak dua sahabatnya bertemu di kafe favorit mereka.
"Tapi Ibu terus aja desak gue, biar cepat-cepat nikahin Lita. Gimana mau nikah coba, cari bahan obrolan aja gue bingung. Masa ujug-ujug ngajak nikah?"
"Kayak abege aja, kudu pakai ide ide an segala. Lo udah uzur, bentar lagi jadi aki-aki, masih aja bingung cara buka obrolan sama cewek." Evan tergelak dan langsung menghindar saat Sean akan menoyor kepalanya.
"Masa setelah pisah sama Gladys, semua senjata lo buat deketin cewek mendadak tumpul begini?" Alvin tidak mau kalah, ikut meledek Sean. "Gede banget pelet mantan sama lo, bikin lo jadi cowok lemah kayak gini."
"Kalian berdua emang nggak berguna!" Sean menyeruput kopinya dengan gundah.
"Dari kita bertiga, lo yang punya banyak mantan. Sejak jaman sekolahan, gonta ganti pacar udah kayak gonta ganti baju."
"Tuduhan lo lebai banget. Gue nggak sebuaya itu," gerutu Sean."
"Tetep aja, lo lebih buaya dari kita. Buktinya Gladys aja dulu bisa lo dapetin, padahal dia lagi sama orang lain waktu itu. Terus sekarang lo bingung gimana cara deketin cewek yang udah dua puluh tahun lo kenal dan sangat dekat sama keluarga lo?" Evan geleng-geleng sambil menepuk bahu Sean.
"Seharusnya ini jauh lebih gampang, Bro!"
"Gampang gimana? Justru itu masalahnya. Gue udah kenal dia sejak kecil, rasanya nggak tega menjadikan dia alat untuk memuaskan ego Ibu. Dia berhak hidup bahagia dan sesuai keinginannya, kan? Belum tentu dia mau selamanya terikat dengan keluarga kami. Tapi saat gue bilang hal itu sama Ibu, sepeti biasa Ibu nggak peduli. Pokoknya gue tetap harus nikah sama Lita. Stress gue!"
"Kenapa lo nggak mikirin sebaliknya? Dia udah nggak punya orang tua lagi. Hampir seluruh hidupnya juga dihabiskan di sini bersama keluarga lo. Bisa saja dia udah merasa sangat nyaman dan bahagia dengan keadaan yang sekarang, kan? Nggak semua orang mau keluar dari zona nyaman. Lagian kenapa harus nyari zona baru kalau yang udah dimiliki sekarang aja udah bikin nyaman?"
Kata-kata Alvin membuat Sean terdiam. Ingatannya seketika tertuju pada paviliun mungil dan cantik dimana Jelita tinggal. Tanpa sadar dia tersenyum tipis mengenang betapa bahagianya wajah gadis itu kala menyenandungkan nada riang sambil memasak di dapurnya yang apik.
"Udah nggak usah kebanyakan mikir. Gas lah! Emang mau sampai kapan lo galau sama Gladys yang sekarang udah happy sama pacar barunya?"
Sean kembali menyeruput kopinya demi menyamarkan raut wajahnya yang tiba-tiba tegang. Dadanya seperti ditinju tiap kali diingatkan pada kenyataan kalau Gladys sudah punya lelaki lain. Obrolannya dengan Linda tempo hari kembali terngiang. Namun, dia cepat-cepat menepisnya.
Ide sepupunya itu terlalu liar dan tak masuk akal. Meski tak bisa dipungkiri, adrenalinnya tiba-tiba terpacu tanpa disadari saat membayangkan hal tersebut. Win win solution, kata Linda. Ibunya bahagia punya menantu Jelita dan dia juga bisa menjemput bahagianya sendiri dengan kembali bersama Gladys.
Namun bayangan Jelita yang tersenyum sopan pada Hani dalam balutan blus sederhana dan rok panjang bunga-bunga, kembali singgah dan membuat nurani Sean terusik. Gadis malang tersebut, tidak pantas mendapatkan perlakuan sekejam itu.
Sean yang semula berencana mengatakan tentang ide Linda pada sahabatnya, jadi mengurungkan niat. Dia belum cukup brengsek untuk melakukan hal hina seperti itu. Meski dia juga merasa kalau dia juga berhak bahagia dengan perempuan yang dicintainya.
Ya, Tuhan!
Sean menggenggam cangkir kopinya erat-erat, sambil menghalau bisikan-bisikan pembenaran yang bersarang di kepala dan mencoba mengaburkan hati nuraninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...