"Lita itu PA-nya si Khalif anak bungsu boss besar di kantor gue. Udah hampir dua minggu ini dia kerja. Gue aja yang baru liat karena kami beda divisi dan beda ruangan," lapor Alvin saat sore itu dia bertemu Sean di kedai kopi.
"Oh, ya? Nyokap juga bilang kemarin, Lita udah minta ijin untuk kerja kantoran."
"Terus gimana soal misi lo itu? Udah ada kemajuan?"
"Udah sebulan gue nggak ketemu sama dia." Sean mengusap belakang kepalanya dengan gundah. "Lo, kan, tahu butuh effort banget bagi gue buat bisa ngobrol asyik sama dia."
"Ibu lo masih keukeuh dengan permintaannya waktu itu?"
Sean mengangguk lesu. "Si Khalif Khalif ini kayak semacam momok banget bagi Ibu. Kayaknya Ibu ngerasa kalau mereka punya hubungan spesial."
"Oh, ya? Dari mana lo mikir kayak gitu?"
"Dia itu temen kuliah Lita, gue pernah ketemu di acara wisudanya. Ibu bilang Khalif cukup sering ke toko, beli bunga dan hal-hal lain yang menyiratkan kalau mereka cukup dekat. Lita juga pernah diundang ke acara anniversary ortu-nya."
"Serius lo?" Alvin terperanjat. "Khalif ngajak dia ke acara anniversary orang tuanya?"
"Untuk apa gue bohong?" Sean menyeruput kopinya, sebelum melanjutkan,"Seharusnya, sih, Ibu bisa legowo, dan merelakan Jelita sama orang lain. Obsesinya terhadap Lita itu sungguh nggak masuk akal."
"Tapi beliau malah tetap ngedesak lo buat jadiin istri?" Alvin terkekeh-kekeh.
"Seumur hidup, ini hal paling konyol yang diminta nyokap sama gue. Dulu, gue pisah sama Gladys karena dia sendiri yang gugat cerai, meski gue tahu Ibu punya andil besar atas keputusannya itu. Namun, saat Ibu terang-terangan minta gue deketin Lita dan jadiin dia istri, bikin gue senewen."
"Terlebih dia kayaknya udah punya seseorang. Wah, gue ikut prihatin, Bro!" sambung Alvin.
"Gini amat jadi anak satu-satunya!" Sean tertawa pahit.
"Tapi, gue rada sangsi Khalif punya hubungan khusus sama Lita. Gue cukup tahu reputasinya di kantor."
"Emangnya dia gimana?"
"Yah, tipikal anak manja yang kerjaannya cuma ngamburin duit bokapnya. Modal tampang oke dan pinter ngomong aja, sih, meski semua orang tahu kalau dia zonk. Posisinya di kantor juga kayak tempelan doang, nggak ngasih kontribusi apa-apa. Hanya saja beberapa waktu lalu, gue dengar dia ngasih ide segar bagi perusahaan. Tumben banget idenya bikin dewan direksi tertarik."
Sean hanya tersenyum kecil tanpa berkomentar apa-apa.
"Kelakuannya sama cewek juga sebelas dua belas lah sama elo dulu. Suka berburu demi kencan sesaat." Alvin menepuk bahu Sean sekilas sambil tertawa meledek.
"Sialan. Gue nggak sebejat itu!" gerutu Sean. Bayangan Khalif yang pernah dilihatnya tengah merangkul perempuan di bar waktu itu tak urung membuat Sean sedikit banyak paham ucapan Alvin.
"Lita emang cantik, tapi sorry to say, gue pikir dia bukan tipe Khalif. Khalif suka cewek seksi dan atraktif. Bukan yang ... You know what. Lo sendiri yang bilang, Lita membosankan, dan gayanya kayak guru lo jaman SD."
"Masa?" Sean menaikkan alisnya. Ingatannya melayang saat beberapa kali pernah bertemu Khalif. Cara lelaki itu tertawa dan menyapa Jelita tampak berbeda. Sebagai sesama lelaki dewasa, Sean tahu persis apa artinya.
"Orang berubah, kali aja dia beneran suka dan punya hubungan spesial sama Lita. Buktinya udah diajak ke acara keluarganya segala," timpalnya kemudian. Untuk alasan yang tak dimengerti, dia merasa sedikit terusik menyadari fakta itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEMUSIM
Romance"Ibu tidak rela Jelita punya Ibu lain yang dia sayangi, selain Ibu, Sean. Kalau kamu benar-benar sayang sama Ibu, tolong yakinkan dia agar mau menjadi menantu Ibu. Tapi, jangan pernah sekali pun bilang kalau ini permintaan Ibu. Yakinkan dia kalau ka...