57. Berita Besar

32.9K 5.4K 3.1K
                                    



Suara pecahan kaca akibat bantingan sebuah kerajinan kaca terdengar nyaring sampai keluar rumah. Altarel membanting kerajinan tersebut yang ada di dekatnya hingga mengagetkan semua orang. Damarez, laki-laki yang berani duduk di kursi ini dengan membawa sebuah berita mengejutkan itu ikut terdiam. Ia melirik Teya yang kini sudah terduduk sambil menangis di bawah kaki sang mama.

Hatinya teriris, tangannya menggenggam erat. Damarez ikut turun dan memeluk Teya yang masih memegangi lutut mamanya. Air mata terus mengalir dari pipi Aeris hingga mengenai rambut perempuan itu.

Dengan tangan bergetar, Damarez mengusap punggung Teya bersaha memberikan kekuatan kepada gadis itu. Pikirannya kembali ditekan oleh rasa bersalah.

"Kamu liat mama kamu sekarang! Kami berharap besar sama kamu dan sekarang tiba-tiba kami mendapatkan berita seperti ini? Kamu belum tamat kuliah. Belum berpenghasilan, mau makan apa?!" bentak Altarel. Ini pertama kalinya Teya mendapatkan respon seperti ini oleh orang tuanya setelah beberapa tahun.

Teya memejamkan matanya. Ia terlihat sangat berantakan. "Eyaa minta maaf udah ngecewain..."

"Kamu! Mentang-mentang umur kamu sudah sangat matang dan sudah kaya, bukan berarti kamu bisa mengambil jalan ini kepada anak saya! Saya dan istri saya punya harapan besar buat dia," ujar Altarel.

Tak ada jawaban yang bisa dilontarkan oleh cowok itu. Itu adalah murni kesalahan mereka terutama dirinya. "Boleh saya minta keringanan om? Anter Teya buat istirahat dulu, biar saya yang disini," ujar Damarez, masih menunduk.

Teya hanya merespon dengan gelengan. "Naik, sayang. Istirahat dulu," ujarnya kemudian mengusap pipi Teya dengan lembut. Ia sangat tak tega melihatnya.

"Kamu belum berhak ngatur-ngatur anak saya, walaupun di perut anak saya itu ada anak kamu!" bentak Aeris.

"Tante...saya mohon. Biar saya yang disini, kasih Teya istirahat dulu..." ujar Damarez dengan lirih. Aeris memperhatikan anaknya, hatinya seperti ingin meledak ketika ikut merasakan apa yang anaknya rasakan.

Wanita paruh baya itu memeluk kepala Teya, membiarkan putrinya meluapkan semua beban yang dirasakannya. Altarel menunjuk Damarez, tepat didepan wajah laki-laki itu. "Keluar kamu!" bentaknya. Damarez menengakkan wajahnya kemudian bangun.

Begitu cowok itu bangun, Teya melepaskan pelukan mamanya. Ia langsung menghentikan tangisannya melihat wajah papanya yang terlihat merah padam dan siap menghajar pacarnya itu. "Papa jangan!" ujar Teya dengan suara gemetar. Semua terlambat karena pukulan papanya lebih cepat daripada peringatan yang keluar dari mulutnya.

Laki-laki berkemeja hitam itu tersungkur ke lantai. Damarez meringis kecil memegangi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Ia berusaha bangun, ia tak ada niatan membalas sedikit pun. Bukan hanya sekedar menghormati orang tua namun ia sadar akan kesalahannya. Belum sempat Altarel menarik kerah bajunya, Teya lebih dulu memegangi lengan papanya. "Papa...Jangan gini. Kalau Kak Ajaa mati, anak Eyaa gak punya papa," ujarnya sambil menahan tangisannya.

"Pergi dari sini. Kalian berdua."

Suara dingin itu bukan datang dari Altarel namun Aeris yang masih terduduk di sofa dengan tatapan wajah yang kosong. Altarel menengok pada istrinya seraya bertanya. "Sayang?" tanya Altarel meminta kejelasan saat Aeris mengusir putri mereka.

"Pergi kalian berdua!"

*****

Seorang perempuan tengah meringkuk di sebuah ranjang berwarna putih tersebut. Hari sudah mulai gelap namun ia tak kunjung ingin makan bahkan sesuap nasi pun tak tersentuh.

"Makan sedikit aja, sayang," ujar Damarez. Suhu tubuh Teya semakin naik, hal tersebut membuat Damarez semakin khawatir. Mereka kini berada di sebuah apartement milik laki-laki itu. Bulan depan, rumah yang sedang dalam proyek pengerjaan baru bisa ditempati.

DAMAREZ (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang